MIKORIZA
Asosiasi
simbiotik antara jamur dengan akar tanaman yang membentuk jalinan interaksi
yang kompleks dikenal dengan mikoriza yang secara harfiah berarti “akar jamur”
(Atmaja, 2001). Secara umum mikoriza di daerah tropika tergolong didalam dua
tipe yaitu: Mikoriza Vesikular-Arbuskular (MVA)/Endomikoriza dan
Vesikular-Arbuskular Mikoriza (VAM)/Ektomikoriza. Jamur ini pada umumnya
tergolong kedalam kelompok ascomycetes dan basidiomycetes (Pujianto, 2001).
Mikoriza berasal
dari kata Miko (Mykes = cendawan) dan Riza yang berarti Akar tanaman. Struktur
yang terbentuk dari asosiasi ini tersusun secara beraturan dan memperlihatkan
spektrum yang sangat luas baik dalam hal tanaman inang, jenis cendawan maupun
penyebarannya. Nahamara (1993) dalam Subiksa (2002) mengatakan bahwa mikoriza
adalah suatu struktur yang khas yang mencerminkan adanya interaksi fungsional
yang saling menguntungkan antara suatu tumbuhan tertentu dengan satu atau lebih
galur mikobion dalam ruang dan waktu.
Kondisi
lingkungan tanah yang cocok untuk perkecambahan biji juga cocok untuk
perkecambahan spora mikoriza. Demikian pula kindisi edafik yang dapat mendorong
pertumbuhan akar juga sesuai untuk perkembangan hifa. Jamu mikoriza
mempenetrasi epidermis akar melalui tekanan mekanis dan aktivitas enzim, yang
selanjutnya tumbuh menuju korteks. Pertumbuhan hifa secara eksternal terjadi
jika hifa internal tumbuh dari korteks melalui epidermis. Pertumbuhan hifa
secara eksternal tersebut terus berlangsung sampai tidak memungkinnya untuk
terjadi pertumbuhan lagi. Bagi jamur mikoriza, hifa eksternal berfungsi
mendukung funsi reproduksi serta untuk transportasi karbon serta hara lainnya
kedalam spora, selain fungsinya untuk menyerap unsur hara dari dalam tanah
untuk digunakan oleh tanaman (Pujianto, 2001)
Atmaja (2001) mengatakan bahwa
pertumbuhan Mikoriza sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti:
Suhu
Suhu yang relatif
tinggi akan meningkatka aktifitas cendawan. Untuk daerah tropika basah, hal ini
menguntungkan. Proses perkecambahan pembentukkan MVA melalui tiga tahap yaitu
perkecambahan spora di tanah, penetrasi hifa ke dalam sel akar dan perkembangan
hifa didalam konteks akar. Suhu optimum untuk perkecambahan spora sangat
beragam tergantung jenisnya. Beberapa Gigaspora yang diisolasi dari tanah
Florida, diwilayah subtropika mengalami perkecambahan paling baik pada suhu
34°C, sedangkan untuk spesies Glomus yang berasal dari wilayah beriklim dingin,
suhu optimal untuk perkecambahan adalah 20°C. Penetrasi dan perkecambahan hifa
diakar peka pula terhadap suhu tanah. Pada umumnya infeksi oleh cendawan MVA
meningkat dengan naiknya suhu. Schreder (1974) dalam Atmaja (2001) menemukan
bahwa infeksi maksimum oleh spesies Gigaspora yang diisolasi dari tanah Florida
terjadi pada suhu 30-33°C. Suhu yang tinggi pada siang hari (35°C) tidak
menghambat perkembangan dan aktivitas fisiologis MVA. Peran mikoriza hanya
menurun pada suhu diatas 40°C. Suhu bukan merupakan faktor pembatas utama dari
aktifitas MVA. Suhu yang sangat tinggi berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman
inang. MVA mungkin lebih mampu bertahan terhadap suhu tinggi pada tanah
bertekstur berat dari pada di tanah berpasir.
Kadar air tanah
Untuk tanaman yang tumbuh didaerah
kering, adanya MVA menguntungkan karena dapat meningkatkan kemampuan tanaman
untuk tumbuh dan bertahan pada kondisi yang kurang air (Vesser et el,1984dalam
Pujianto, 2001). Adanya MVA dapat memperbaiki dan meningkatkan kapasitas
serapan air tanaman inang. Ada beberapa dugaan mengapa tanaman bermikoriza
lebih tahan terhadap kekeringan diantaranya adalah:
adanya mikoriza resitensi akar terhadap
gerakan air menurun sehingga transfer iar ke akar meningkat.
Tanaman kahat P lebih peka terhadap
kekeringan, adanya MVA menyebabkan status P tanaman meningkat sehingga
menyebabkan daya tahan terhadap kekeringan meningkat pula.
Adanya hifa eksternal menyebabkan tanaman ber-MVA lebih mampu mendapatkan air daripada yang tidak ber-MVA tetapi jika mekanisme ini yang terjadi berarti kandungan logam-logam lebih cepat menurun. Penemuan akhir-akhir ini yang menarik adanya hubungan antara potensial air tanah dan aktifitas mikoriza. Pada tanaman bermikoriza jumlah air yang dibutuhkan untuk memproduksi 1gram bobot kering tanaman lebih sedikit daripada tanaman yang tidak bermikoriza.
Adanya hifa eksternal menyebabkan tanaman ber-MVA lebih mampu mendapatkan air daripada yang tidak ber-MVA tetapi jika mekanisme ini yang terjadi berarti kandungan logam-logam lebih cepat menurun. Penemuan akhir-akhir ini yang menarik adanya hubungan antara potensial air tanah dan aktifitas mikoriza. Pada tanaman bermikoriza jumlah air yang dibutuhkan untuk memproduksi 1gram bobot kering tanaman lebih sedikit daripada tanaman yang tidak bermikoriza.
Tanaman mikoriza lebih tahan terhadap
kekeringan karena pemakaian air yang lebih ekonomis.
Pengaruh tidak langsung karena adanya
miselin eksternal menyebabkan MVA efektif didalam mengagregasi butir-butir
tanah sehingga kemampuan tanah menyimpan air meningkat.
pH tanah
Cendawan pada
umumnya lebih tahan lebih tahan terhadap perubahan pH tanah. Meskipun demikian
daya adaptasi masing-masing spesies cendawan MVA terhadap pH tanah
berbeda-beda, karena pH tanah mempengaruhi perkecambahan, perkembangan dan
peran mikoriza terhadap pertumbuhan tanaman. Glomus fasciculatus berkembang
biak pada pH masam. Pengapuran menyebabkan perkembangan G. fasciculatus menurun
(Mosse, 1981 dalam Atmaja, 2001). Demikian pula peran G.fasciculatus di dalam
meningkatkan pertumbuhan tanaman pada tanah masam menurun akibat pengapuran
(Santoso, 1985). Pada pH 5,1 dan 5,9 G. fasciculatus menampakkan pertumbuhan
yang terbesar, G. fasciculatus memperlihatkan pengaruh yang lebih besar
terhadap pertumbuhan tanaman justru kalau pH 5,1 G. Mosseae memberikan pengaruh
terbesar pada pH netral sampai alkalis (pH 6,0-8,1).
Perubahan pH tanah melalui pengapuran biasanya berdampak merugikan bagi perkembangan MVA asli yang hidup pada tanah tersebut sehingga pembentukan mikoriza menurun (Santosa, 1989). Untuk itu tindakan pengapuran dibarengi tindakan inokulasi dengan cendawan MVA yang cocok agar pembentukan mikoriza terjamin.
Perubahan pH tanah melalui pengapuran biasanya berdampak merugikan bagi perkembangan MVA asli yang hidup pada tanah tersebut sehingga pembentukan mikoriza menurun (Santosa, 1989). Untuk itu tindakan pengapuran dibarengi tindakan inokulasi dengan cendawan MVA yang cocok agar pembentukan mikoriza terjamin.
Bahan organik
Bahan organic
merupakan salah satu komponen penyusun tanah yang penting disamping air dan
udara. Jumlah spora MVA tampaknya berhubungan erat dengan kandungan bahan
organic didalam tanah. Jumlah maksimum spora ditemukan pada tanah-tanah yang
mengandung bahan organic 1-2 persen sedangkan pada tanah-tanah berbahan organic
kurang dari 0,5 persen kandungan spora sangat rendah (Pujianto, 2001). Residu
akar mempengaruhi ekologi cendawan MVA, karena serasah akar yang terinfeksi
mikoriza merupakan sarana penting untuk mempertahankan generasi MVA dari satu
tanaman ke tanaman berikutnya. Serasah akar tersebut mengandung hifa,vesikel
dan spora yang dapat menginfeksi MVA. Disamping itu juga berfungsi sebagai
inokulasi untuk tanaman berikutnya.
Cahaya dan ketersediaan hara
Bjorman dalam
Gardemann (1983) dalam Atmaja (2001) menyimpukan bahwa dalam intensitas cahaya
yang tinggi kekahatan sedang nitrogen atau fosfor akan meningkatkan jumlah
karbohidrat di dalam akar sehingga membuat tanaman lebih peka terhadap infeksi
cendawan MVA. Derajat infeksi terbesar terjadi pada tanah-tanah yang mempunyai
kesuburan yang rendah. Pertumbuhan perakaran yang sangat aktif jarang
terinfeksi oleh MVA. Jika pertumbuhan dan perkembangan akar menurun infeksi MVA
meningkat.
Peran mikoriza yang erat dengan peyediaan P bagi tanaman menunjukkan keterikatan khusus antara mikoriza dan status P tanah. Pada wilayah beriklim sedang konsentrasi P tanah yang tinggi menyebabkan menurunnya infeksi MVA yang mungkin disebabkan konsentrasi P internal yang tinggi dalam jaringan inang (Santosa, 1989).
Hayman (1975) dala Atmaja (2001) mengadakan studi yang mendalam mengenai pemupukan N dan P terhadap MVA pada tanah di wilayah beriklim sedang. Pemupukkan N (188 kg N/ha) berpengaruh buruk terhadap populasi MVA. Petak yang tidak dipupuk mengandung jumlah spora 2 hingga 4 kali lebih banyak dan berderajat infeksi 2 hingga 4 kali lebih tinggi dibandingkan petak yang menerima pemupukkan. Hayman mengamati bahwa pemupukkan N lebih berpengaruh daripada pemupukkan P, tetapi peneliti lain mendapatkan keduanya memiliki pengaruh yang sama.
Peran mikoriza yang erat dengan peyediaan P bagi tanaman menunjukkan keterikatan khusus antara mikoriza dan status P tanah. Pada wilayah beriklim sedang konsentrasi P tanah yang tinggi menyebabkan menurunnya infeksi MVA yang mungkin disebabkan konsentrasi P internal yang tinggi dalam jaringan inang (Santosa, 1989).
Hayman (1975) dala Atmaja (2001) mengadakan studi yang mendalam mengenai pemupukan N dan P terhadap MVA pada tanah di wilayah beriklim sedang. Pemupukkan N (188 kg N/ha) berpengaruh buruk terhadap populasi MVA. Petak yang tidak dipupuk mengandung jumlah spora 2 hingga 4 kali lebih banyak dan berderajat infeksi 2 hingga 4 kali lebih tinggi dibandingkan petak yang menerima pemupukkan. Hayman mengamati bahwa pemupukkan N lebih berpengaruh daripada pemupukkan P, tetapi peneliti lain mendapatkan keduanya memiliki pengaruh yang sama.
Logam berat dan unsur lain
Pada percobaan
dengan menggunakan tiga jenis tanah dari wilayah iklim sedang didapatkan bahwa
pengaruh menguntungkan karena adanya MVA menurun dengan naiknya kandungan Al
dalam tanah. Aluminium diketahui menghambat muncul jika ke dalam larutan tanah
ditambahkan kalsium (Ca). Jumlah Ca didalam larutan tanah rupa-rupanya
mempengaruhi perkembangan MVA. Tanaman yang ditumbuhkan pada tanah yang
memiliki derajat infeksi MVA yang rendah. Hal ini mungkin karena peran Ca2+
dalam memelihara integritas membran sel.
Beberapa spesies
MVA diketahui mampu beradaptasi dengan tanah yang tercemar seng (Zn), tetapi
sebagian besar spesies MVA peka terhadap kandungan Zn yang tinggi. Pada
beberapa penelitian lain diketahui pula bahwa strain-strain cendawan MVA
tertentu toleran terhadap kandungan Mn, Al dan Na yang tinggi.
Fungisida
Fungisida
merupakan racun kimia yang diracik untuk membunuh cendawan penyebab penyakit
pada tanaman, akan tetapi selain membunuh cendawan penyebab penyakit fungisida
juga dapat membunuh mikoriza, dimana pemakainan fungisida ini menurunkan
pertumbuhan dan kolonisasi serta kemampuan mikoriza dalam menyerap P.
Beberapa manfaat yang dapat diperoleh
tanaman inang dari adanya asosiasi mikoriza adalah sebagai berikut (Rahayu dan
Akbar, 2003):
Meningkatkan penyerapan unsur hara
Tanaman yang bermikoriza biasanya tumbuh
lebih baik dari pada yang tidak bermikoriza, dapat meningkatkan penyerapan
unsur hara makro dan beberapa unsure hara mikro. Selain itu akar tanaman yang
bermikoriza dapat menyerap unsure hara dalam bentuk terikat dan tidak tersedia
untuk tanaman (Serrano, 1985 dalam Suhardi, 1992 dalam Rahayu dan Akbar, 2003).
De la Cruz (1981) dalam Atmaja (2001) melaporkan lebih banyak lagi unsure hara yang serapannya meningkat dari adanya mikoriza. Unsure hara yang meningkat penyerapannya adalah N, P, K, Ca, Mg, Fe, Cu, Mn dan Zn. Hubungan antara MVA dengan organisme tanah tidak bias diabaikan, karena secara bersama-sama keduanya membantu pertumbuhan tanaman.
De la Cruz (1981) dalam Atmaja (2001) melaporkan lebih banyak lagi unsure hara yang serapannya meningkat dari adanya mikoriza. Unsure hara yang meningkat penyerapannya adalah N, P, K, Ca, Mg, Fe, Cu, Mn dan Zn. Hubungan antara MVA dengan organisme tanah tidak bias diabaikan, karena secara bersama-sama keduanya membantu pertumbuhan tanaman.
Tahan terhadap serangan pathogen
Mikoriza dapat berfungsi sebagai
pelindung biologi bagi terjadinya infeksi patogen akar. Mekanisme perlindungan
ini bias diterangkan sebagai berikut:
1.
adanya
lapisan hifa (mantel) dapat berfungsi sebagai pelindung fisik untuk masuknya
pathogen
2.
mikoriza
menggunakan hampir semua kelebihan karbohidrat dan eksudat akar lainnya,
sehinga tidak cocok bagi patogen.
3.
fungi
mikoriza dapat melepaskan antibiotik yang dapat menghambat perkembangan
patogen.
Sebagai konservasi tanah
Fungi mikoriza yang berasosiasi dengan
akar berperan dalam konservasi tanah, hifa tersebut sebagai kontributor untuk
menstabilkan pembentukan struktur agregat tanah dengan cara mengikat
agregat-agregat tanah dan bahan organic tanah.
Mikoriza dapat memproduksi hormon dan
zat pengatur tumbuh
Fungi mikoriza dapat memberikan hormon seperti auxin, sitokinin, giberellin, juga zat pengatur tumbuh seperti vitamin kepada inangnya.
Fungi mikoriza dapat memberikan hormon seperti auxin, sitokinin, giberellin, juga zat pengatur tumbuh seperti vitamin kepada inangnya.
Sebagai sumber pembuatan pupuk biologis.
Fungi ini dapat diisolasi, dimurnikan
dan diperbanyak dalam biakan monnesenil.
Isolat-isolat tersebut dapat dikemas
dalam bentuk inokulum dan sebagai sumber material pembuat pupuk biologis yang
dapat beradaptasi pada kondisi daerah setempat (Setiadi, 1994).
Sinergis dengan mikroorganisme lain
Keberadaan mikoriza juga bersifat
sinergis denagn mikroba potensial lainnya seperti bakteri penambat N dan
bakteri pelarut fosfat.
Mempertahankan keanekaragaman tumbuhan
Fungi mikoriza berperan dalam
mempertahankan stabilitas keanekaragaman tumbuhan dengan cara transfer nutrisi
dari satu akar tumbuhan ke akar tumbuhan lainnya yang berdekatan melalui
struktur yang disebut Bridge Hypae.
Dafatar Pustaka
Atmaja, I Wayan Dana. 2001. Bioteknologi
Tanah (Ringkasan Kuliah). Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Udayana.
Denpasar
Iskandar, Dudi. 2002. Pupuk Hayati
Mikoriza Untuk Pertumbuhan dan Adapsi Tanaman Di Lahan Marginal. ____________
Notohadinagoro, Tejoyuwono. 1997.
Bercari manat Pengelolaan Berkelanjutan Sebagai Konsep Pengembangan Wilayah Lahan
Kering. Makalah Seminar Nasional dan Peatihan Pengelolaan Lahan Kering
FOKUSHIMITI di Jember. Universitas Jember. Jember
Pujiyanto. 2001. Pemanfatan Jasad Mikro,
Jamu Mikoriza dan Bakteri Dalam Sistem Pertanian Berkelanjutan Di Indonesia:
Tinjauan Dari Perspektif Falsafah Sains. Makalah Falsafah Sains Program Pasca
Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogo
Rahayu, Novi., dan Ade Kusuma Akbar.
2003. Pemanfaatan Mikoriza dan Bahan Organik Dalam Rangka Reklamasi Lahan Pasca
Penambangan. Karya Tulis Ilmiah. Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura.
Pontianak
Santosa, Dwi Andreas. 1989. Teknik dan
Metode Penelitian Mikorisa Vesikular-Arbuskular. Laboraturium Biologi Tanah
Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor
Subiksa, IGM. 2002. Pemanfatan Mikoriza
Untuk Penanggulangan Lahan Kritis. Makalah Falsafah Sains Program Pasca Sarjana
Institut Pertanian Bogor. Bogor
Suwardji. 2003. Profil Wilayah Lahan
Kering Propinsi NTB: Potensi, Tantangan dan strategi Pengembangannya. Makalah
Seminar Nasional FOKUSHIMITI BEW III di Mataram. Universitas Mataram. Mataram
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan komentar ya.... ^-^