BAB
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Lingkungan tanah
merupakan lingkungan yang terdiri dari gabungan antara lingkungan abiotik dan
lingkungan biotik. Gabungan dari kedua lingkungan ini menghasilkan suatu
wilayah yang dapat dijadikan sebagai tempat tinggal bagi beberapa jenis makhluk
hidup, salah satunya adalah mesofauna tanah. Tanah dapat didefinisikan sebagai
medium alami untuk pertumbuhan tanaman yang tersusun atas mineral, bahan
organik, dan organisme hidup. Kegiatan biologis seperti pertumbuhan akar dan
metabolisme mikroba dalam tanah berperan dalam membentuk tekstur dan
kesuburannya (Rao, 1994).
Mikoriza adalah
jamur yang hidup secara bersimbiosis dengan sistem perakaran tanaman tingkat
tinggi. Walau ada juga yang bersimbiosis dengan rizoid (akar semu)
jamur(Anonim,2008). Istilah mikoriza berasal dari kata myces yang berarti
cendawan dan rhizae yang berarti akar, jadi secara harifiah mikoriza memiliki
arti akar jamur atau akar yang diliputi oleh jamur. Asosiasi simbiotik antara
jamur dengan akar tanaman yang membentuk jalinan interaksi yang kompleks
dikenal dengan mikoriza yang secara harfiah berarti “akar jamur” (Atmaja,
2001).
Secara umum
mikoriza di daerah tropika tergolong didalam dua tipe yaitu: Mikoriza
Vesikular-Arbuskular (MVA)/Endomikoriza dan Vesikular-Arbuskular Mikoriza
(VAM)/Ektomikoriza. Jamur ini pada umumnya tergolong kedalam kelompok ascomycetes
dan basidiomycetes (Pujianto, 2001 dalam Anonim, 2008).
Mikoriza berasal dari kata Miko (Mykes = cendawan) dan Riza yang berarti Akar tanaman. Struktur yang terbentuk dari asosiasi ini tersusun secara beraturan dan memperlihatkan spektrum yang sangat luas baik dalam hal tanaman inang, jenis cendawan maupun penyebarannya.
Mikoriza berasal dari kata Miko (Mykes = cendawan) dan Riza yang berarti Akar tanaman. Struktur yang terbentuk dari asosiasi ini tersusun secara beraturan dan memperlihatkan spektrum yang sangat luas baik dalam hal tanaman inang, jenis cendawan maupun penyebarannya.
Nahamara (1993)
dalam Subiksa (2002) mengatakan bahwa mikoriza adalah suatu struktur yang khas
yang mencerminkan adanya interaksi fungsional yang saling menguntungkan antara
suatu tumbuhan tertentu dengan satu atau lebih galur mikobion dalam ruang dan
waktu.(Anonim, 2008).
Kondisi
lingkungan tanah yang cocok untuk perkecambahan biji juga cocok untuk
perkecambahan spora mikoriza. Demikian pula kindisi edafik yang dapat mendorong
pertumbuhan akar juga sesuai untuk perkembangan hifa. Jamur mikoriza
mempenetrasi epidermis akar melalui tekanan mekanis dan aktivitas enzim, yang
selanjutnya tumbuh menuju korteks. Pertumbuhan hifa secara eksternal terjadi
jika hifa internal tumbuh dari korteks melalui epidermis. Pertumbuhan hifa
secara eksternal tersebut terus berlangsung sampai tidak memungkinnya untuk
terjadi pertumbuhan lagi. Bagi jamur mikoriza, hifa eksternal berfungsi
mendukung fungsi reproduksi serta untuk transportasi karbon serta hara lainnya
kedalam spora, selain fungsinya untuk menyerap unsur hara dari dalam tanah
untuk digunakan oleh tanaman (Pujianto, 2001 dalam Anonim, 2008).
BAB II
ISI
2.1 Pengertian Mikoriza
Mikoriza
merupakan asosiasi simbiotik antara jamur dan sistem perakaran tanaman tinggi.
Mikoriza yang berarti akar jamur pertama kali ditemukan oleh botaniwan Jerman,
Frank pada tahun 1855 (Rao, 1994). Dalam bahasa latin, istilah mikoriza
(mycorrhyza) merupakan gabungan dari kata myces yang berarti jamur (cendawan)
dan rhyza yang artinya akar. Hubungan antara cendawan dan akar ini hanya
terjadi pada akar tumbuhan khususnya akar halus dan masih muda serta tidak
pernah pada bagian yang lain (Muin, 2001 dalam Widiarti, 2007).
Mikoriza
merupakan gabungan simbiotik dan mutualistik antara cendawan bukan patogen atau
patogen lemah dengan sel akar hidup terutama korteks dan sel epidermis.
Cendawan menerima unsur hara organik yang berasal dari tumbuhan, dan
memperbaiki kemampuan akar dalam menyerap air dan mineral (Salisbury dan Ross,
1995). Cendawan ini bersama dengan kelompoknya merupakan suatu golongan
organisme khusus, berkemampuan menyerang organ-organ tumbuhan di bawah tanah
(subterranean organs of plants), hidup bertahan dengan unsur-unsur organiknya. Dengan
terinfeksi, pertumbuhan akar menjadi lambat atau berhenti, sehingga mikoriza
sering hanya mempunyai sedikit rambut akar. Keadaan ini mengakibatkan
pengurangan permukaan penyerapan. Kecuali bila hifa cendawan yang pipih dan
mampu merusak dari mikoriza meningkatkan terobosan ke tanah. Sehingga, hifa
mengambil alih fungsi penyerapan rambut akar (Salisbury dan Ross, 1995).
2.2 Pembagian Mikoriza
2.2 Pembagian Mikoriza
Secara umum mikoriza digolongkan menjadi
3 tipe berdasarkan struktur tubuh dan cara infeksi terhadap tanaman inang :
1.Ektomikoriza
Suatu perakaran
ektomikoriza tidak memiliki rambut akar dan tertutup oleh selapis atau selubung
hifa jamur yang hampir tampak mirip dengan jaringan inang. Lapisan tersebut
disebut selubung pseudoparenkimatis. Masing-masing cabang akar diselubungi hifa
cendawan (disebut mantel hifa), sehingga ukuran akar tampak membesar. Hifa
tumbuh memasuki korteks dan hanya tinggal di lapisan sel-sel korteks luar untuk
membentuk jaring-jaring yang disebut ‘jala hartig’. Jala hartig inilah yang
berperan dalam mentranasportasikan seluruh nutrisi yang diserap oleh mantel
cendawan akar.
Pada umumnya, jamur yang terlibat dalam ektomikoriza termasuk Basidiomycetes yang meliputi famili-famili Amanitaceae, Boletaceae, Cortinariaceae, Russulaceae, Tricholomataceae, Rhizopogonaceae dan Sclerodermataceae. Jamur-jamur itu termasuk dalam genus-genus Amanita, Boletus, Cantharellus, Cortinarius, Entoloma, Gomphidius, Hebeloma, Inocybe, Lactarius, Paxillus, Russula, Rhizopogon, Scleroderma dan Cenococcum (Rao, 1994). Terdapat pula ektomikoriza pada famili Pinaceae, Salicaceae, Betulaceae, Fagaceae, Juglandaceae, Cesalpinaceae, dan Tiliaceae. Beberapa genus seperti Pinus, Picea, Abies, Pseudotsuga, Cedrus, Larix, Querqus, Castanea, Fagus, Nothofagus, Betula, Alnusn, Salix, Carya, dan Populus memiliki infeksi ektomikoriza (Rao, 1994).
Pada umumnya, jamur yang terlibat dalam ektomikoriza termasuk Basidiomycetes yang meliputi famili-famili Amanitaceae, Boletaceae, Cortinariaceae, Russulaceae, Tricholomataceae, Rhizopogonaceae dan Sclerodermataceae. Jamur-jamur itu termasuk dalam genus-genus Amanita, Boletus, Cantharellus, Cortinarius, Entoloma, Gomphidius, Hebeloma, Inocybe, Lactarius, Paxillus, Russula, Rhizopogon, Scleroderma dan Cenococcum (Rao, 1994). Terdapat pula ektomikoriza pada famili Pinaceae, Salicaceae, Betulaceae, Fagaceae, Juglandaceae, Cesalpinaceae, dan Tiliaceae. Beberapa genus seperti Pinus, Picea, Abies, Pseudotsuga, Cedrus, Larix, Querqus, Castanea, Fagus, Nothofagus, Betula, Alnusn, Salix, Carya, dan Populus memiliki infeksi ektomikoriza (Rao, 1994).
2.Endomikoriza
Cendawan yang
menginfeksi tidak menyebabkan pembesaran akar. Jaringan hifa cendwan masuk ke
dalam sel korteks akar dan membentuk struktur khas berbentuk oval yang disebut
vesikel dan sistem percabangan hifa yang dichotomous yang disebut arbuskul.
Cendawan yang hidup intraselular ini membentuk hubungan langsung antar sel-sel
akar dan tanah sekitarnya.
Cendawan
endomikoriza umumnya berasal dari ordo Glomales (Zygomycetes) yang terbagi ke dalam
subordo Glominae dan Gigasporinae (Pujiyanto, 2004). Tipe cendawan ini wilayah
asosiasinya lebih luas, yaitu selain berasosiasi dengan jenis-jenis pohon hutan
yang dipakai untuk HTI dan reboisasi lainnya (Acacia mangium, Switenia
macrophylla, Pterocarpus sp, dll) juga dapat berasosiasi dengan berbagai
tanaman pertanian, hortikultura dan pastura (tanaman pakan ternak) (Setiadi,
2004).
3.Ektendomikoriza
Infeksi hifa
dari cendawan tipe ini memiliki bentuk intermediet dari ektomikoriza dan
endomikoriza. Hifa cendawan ektendomikoriza membentuk selubung tipis berupa
jaringan hartig pada akar. Selain menginfeksi dinding sel korteks, infeksi juga
terjadi pada sel-sel korteksnya. Penyebaran cendawan terbatas pada tanah-tanah hutan
(Anas dan Santosa, 1993)
2.3 Ekologi Mikoriza
Secara umum
mikoriza di daerah tropika tergolong ke dalam dua tipe yaitu ektomikoriza (ECM)
dan endomikoriza atau arbuscular mycorriza (AM). Jamur ektomikoriza pada
umumnya tergolong ke dalam kelompok Ascomycetes dan Basidiomycetes. Asosiasi
simbiotik antara akar tanaman dengan jamur mikoriza tersebut menyebabkan
terbentuknya luas serapan yang lebih besar dan lebih mampu memasuki ruang pori
yang lebih kecil sehingga meningkatkan kemampuan tanaman untuk menyerap unsur
hara, terutama unsur hara seperti P, Cu dan Zn. Selain itu juga menyebabkan
tanaman lebih toleran terhadap keracunan logam, serangan penyakit khususnya
patogen akar, kekeringan, suhu tanah yang tinggi dan kondisi pH yang tidak
sesuai.
Faktor
lingkungan sangat berpengaruh terhadap perkembangan spora cendawan mikoriza.
Kondisi lingkungan dan edafik yang cocok untuk perkecambahan biji dan
pertumbuhan akar tumbuhan biasanya juga cocok untuk perkecambahan spora
cendawan. Cendawan pada umumnya memiliki ketahanan yang cukup baik pada rentang
faktor lingkungan fisik yang lebar. Mikoriza tidak hanya dapat berkembang pada
tanah berdrainase baik, tapi juga pada lahan tergenang seperti pada sawah.
Bahkan pada lingkungan yang sangat miskin atau lingkungan yang tercemar limbah
berbahaya, cendawan mikoriza masih memperlihatkan eksistensinya (Aggangan et
al, 1998 dalam Subiska 2002).
Ekosistem alami
mikoriza di daerah tropika dicirikan oleh keragaman spesies yang sangat tinggi,
khususnya dari jenis ektomikoriza (Muyanziza et al, 1997 dalam Subiska, 2002).
Hutan alami yang terdiri dari banyak spesies tumbuhan dan umur seragam sangat
berpengaruh terhadap jumlah dan keragaman mikoriza. Akumulasi perubahan
lingkungan mulai dari penebangan hutan, pembakaran, kerusakan struktur dan
pemadatan tanah akan mengurangi propagula cendawan mikoriza. Efektivitas
mikoriza dipengaruhi oleh faktor lingkungan tanah yang meliputi faktor abiotik
seperti konsentrasi hara, pH, kadar air, temperatur, pengolahan tanah dan
penggunaan pupuk atau pestisida serta faktor biotik seperti interaksi
mikrobial, spesies cendawan, tumbuhan inang, tipe perakaran tumbuhan inang dan
kompetisi antara cendawan mikoriza (Subiska, 2002).
2.4 Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA)
Cendawan
Mikoriza Arbuskula (CMA) merupakan salah satu tipe cendawan dari golongan
endomikoriza. CMA terdapat pada semua lahan tropis dan semua ekosistem
terestrial (darat). Kemampuan berasosiasinya tinggi, yaitu hampir 90% jenis
tanaman. Oleh karena itu, aplikasi CMA tidak terbatas untuk tanaman monokultur,
tetapi juga dapat diaplikasikan untuk pola tanaman campuran seperti
agroforestry (tumpang sari, alley cropping, sistem lorong) (Setiadi, 2004).
Cendawan
mikoriza arbuskula (CMA) membentuk spora di dalam tanah dan dapat berkembang
baik jika berasosiasi dengan tanaman inang. Spora cendawan ini cukup bervariasi
dan sekitar 100µm sampai 600 µm. Ukuran yang cukup besar ini menyebabkan spora
CMA mudah diisolasi dari dalam tanah dengan cara penyaringan. Pada akar, hanya
korteks primer dan sekunder yang menjadi tempat terjadinya infeksi. Berbeda
dengan infeksi oleh patogen, infeksi CMA tidak menyebabkan luka maupun
perubahan warna. Pada permukaan akar juga sering dijumpai hifa, akan tetapi
hifa tersebut tidak cukup banyak untuk menutupi akar seperti pada ektomikoriza.
Dengan adanya hifa eksternal ini, maka areal perakaran bertambah. Dengan
bertambahnya akar eksternal ini, maka kemampuan untuk menyerap unsur hara
terutama P dan air bertambah (Mosse, 1981 dalam Anas 1993).
Cendawan mikoriza arbuskula membentuk organ-organ khusus dan mempunyai peranan yang juga spesifik. Organ khusus tersebut adalah arbuskul (arbuscle), vesikel (vesicle) dan spora. Ada dua struktur khas yang dibentuk oleh jamur mikoriza vesikula arbuskula (Mosse, 1981 dalam Widiarti,2007), yaitu :
Cendawan mikoriza arbuskula membentuk organ-organ khusus dan mempunyai peranan yang juga spesifik. Organ khusus tersebut adalah arbuskul (arbuscle), vesikel (vesicle) dan spora. Ada dua struktur khas yang dibentuk oleh jamur mikoriza vesikula arbuskula (Mosse, 1981 dalam Widiarti,2007), yaitu :
1.Arbuskula
Dibentuk secara
intraseluler oleh percabangan yang berulang-ulang dari suatu infeksi hifa,
tukar menukar nutrien mungkin lebih banyak antara tanaman inang dengan simbion.
Arbuskula terbentuk setelah 2-3 hari inang terinfeksi. Hidupnya relatif pendek
1-3 minggu dan akan melakukan degenerasi ke suatu massa granular dari materi dinding
jamur ke dalam sel inang.
2.Vesikula
Memiliki bentuk
yang menyerupai kantung dan menggelembung, dibentuk di bagian ujung hifa.
Vesikula mengandung lemak dan diperkirakan bertindak sebagai tempat penyimpanan
sementara. Secara normal, vesikula terbentuk setelah arbuskula, dan biasanya
menjadi lebih banyak pada waktu tanaman dewasa. Bentuk vesikula, struktur
dinding, kandungan dan jumlahnya berbeda tergantung jenis jamur yang membentuk
mikoriza.
Cendawan mikoriza arbuskula yang dikenal dengan sebutan mikoriza vesikular-arbuskular (MVA) sukar untuk dikenal dari morfologi akarnya. Oleh karena itu, penggunaan mikroskop merupakan suatu cara yang sering ditempuh untuk menjelaskan adanya CMA pada akar suatu tanaman. Cara mempelajari asosiasi CMA sangat bergantung pada arah penelitian. Namun diperlukan pencucian isi sel akar dan pewarnaan struktur CMA.
Cendawan mikoriza arbuskula yang dikenal dengan sebutan mikoriza vesikular-arbuskular (MVA) sukar untuk dikenal dari morfologi akarnya. Oleh karena itu, penggunaan mikroskop merupakan suatu cara yang sering ditempuh untuk menjelaskan adanya CMA pada akar suatu tanaman. Cara mempelajari asosiasi CMA sangat bergantung pada arah penelitian. Namun diperlukan pencucian isi sel akar dan pewarnaan struktur CMA.
Perkembangan CMA
terjadi antara lain pada saat miselium eksternal dalam tanah membentuk spora
yang tersebar di sekitar akar. Sedangkan hifa yang ada di dalam sel atau akar
tanaman terdiri dari hifa yang tidak bercabang yang terletak di antara sel,
hifa intraseluler. Selain itu, terdapat hifa intraseluler yang bercabang secara
diktomi (arbuskular) atau yang membengkak menjadi bulat atau bulat memanjang
(vesikel) dan hifa mengering (hifa gelung) (Anas, 1993).
2.4.1Arbuskula
Arbuskula
merupakan percabangan dari hifa masuk ke dalam sel tanaman inang. Masuknya hifa
ini ke dalam sel tanaman inang diikuti oleh peningkatan sitoplsma, pembentukan
organ baru, pembengkokan inti sel, peningkatan respirasi dan aktivitas enzim.
Siklus hidup arbuskula cukup singkat yaitu antara satu sampai tiga minggu
(Mosse, 1981 dalam Anas, 1993)
Hifa
intraseluler yang telah mencapai sel korteks yang lebih dalam letaknya akan
menembus dinding sel dan membentuk sistem percabangan hifa yang kompleks,
tampak seperti pohon kecil yang mempunyai cabang-cabang yang dinamakan
arbuskul. Arbuskul dianggap sebagai struktur utama yang terlihat di alam
transfer dua hara antara simbion cendawan dan tanaman inang.
Mosse dan Herper
(1975) mengamati bahwa struktur yang dibentuk pada akar-akar muda adalah arbuskul.
Dengan bertambahnya umur, arbuskul ini berubah menjadi satu struktur yang
menggumpal dan cabang-cabang pada arbuskul kemudian tidak dapat dibedakan lagi.
Pada akar yang telah dikolonisasi dengan CMA dapat dilihat berbagai arbuskul
dewasa yang dibentuk berdasarkan umur dan letaknya. Arbuskul dewasa terletak
dekat pada sumber unti kolonisasi tersebut.
Tanaman inang
yang terinfeksi sama tanggapannya dengan patogen yang masuk ke dalam akar, akan
tetapi sitoplasma tanaman inang tidak kembali (rusak). Bila arbuskula hilang
dari dalam sel, inti kembali seperti biasa dan sitoplasma tetap berfungsi.
Kadang-kadang celah tanaman dapat terinfeksi CMA untuk kedua kalinya.
2.4.2 Vesikula (Vesicle)
Organ ini
berbentuk kantung di ujung hifa. Vesikula memiliki banyak lemak yang berfungsi
untuk penyimpanan. Vesikula ini dapat terlepas dari akar tanaman bila
terkelupas. Vesikel yang terpisah ini akan berkecambah dan tumbuh serta
mnginfeksi akar yang baru. Terkadang, vesikula ini sukar dibedakan dengan spora
pada saat penyaringa. Namun karena ukuran vesikula relatif lebih kecil
(diameter spora 2-5 kali lebih besar), dan berbentuk agak lonjong (spora
bulat), maka kedua organ ini dapat dibedakan dengan cepat. Vesikel di bentuk
oleh hifa intraseluler atau interseluler dan dijumpai dalam sel korteks luar
dan dalam. Struktur ini dijumpai pada Glomus sp. dan Aclauspotra sp. (Gadermann
dan Trappe, 1974 dalam Anas, 1993).
Pada awal
perkembangan vesikel, sitoplasma cukup padat, berinti banyak dan mengandung
partikel-partikel kecil dan glikogen. Kemudian sitoplasma menjadi lebih padat
dan selama fase ini kandungan lipid bertambah banyak. Pada saat dewasa, hampir
seluruh isi vesikel ditempati oleh butir-butir lipid. Sel korteks yang
dikolonisasi oleh vesikel mempunyai ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan
yang tidak dikolonisasi. Umumnya vesikel dibentuk dalam jumlah banyak di bagian
korteks luar dari unit kolonisasi ynag sudah lanjut usianya, namun ada pula vesikula
yang dibentuk tanpa pembentukan arbuskul lebih dahulu.
2.4.3 Spora
Spora terbentuk
pada ujung hifa eksternal. Spora ini dapat dibentuk secara tunggal, berkelompok
atau di dalam sporokarp tergantung pada jenis cendawannya. Perkecambahan spora
sangat sensitif terhadap kandungan logam berat di dalam tanah dan begitu juga
dengan kandungan Al. Kandungan Mn juga mempengaruhi pertumbuhan miselium. Spora
dapat hidup di dalam tanah beberapa bulan sampai beberapa tahun. Namun, untuk
berkembang CMA memerlukan tanaman inang. Spora dapat disimpan dalam waktu yang
lama sebelum digunakan lagi.(Widiarti, 2007)
Proses infeksi
CMA dimulai dengan pembentukan apresorium pada perkembangan akar oleh hifa
eksternal. Hifa eksternal ini berasal dari spora yang berkecambah ataupun di
akar tanaman yang sudah terinfeksi. Hifa CMA akan masuk ke dalam akar menembus
atau melalui celah antar sel epidermis, kemudian apresorium akan tersebar baik
interseluler maupun intraseluler di dalam korteks sepanjang akar. Kadang-kadang
terbentuk pula jaringan hifa yang rumit di dalam sel-sel kortikal luar. Setelah
proses-proses tersebut berlangsung, barulah terbentuk arbuskula, vesikel, dan
akhirnya spora (Anas, 1993)
2.5 Identifikasi dan Klasifikasi genus
Cendawan Mikorhiza
Jamur pembentuk ektomikorhiza
biasanya Basidiomycetes diantaranya dari genera Amanita, Boletus, Laccaria,
Pisolithus dan Scleroderma (Setiadi, 1989). Beberapa jamur hanya spesifik untuk
satu inang, sedangkan yang lain mempunyai rentangan inang yang luas.
Identifikasi Cendawan Mikorhiza Arbuskular (CMA) secara sederhana dapat dilakukan dengan mengamati spora yang dihasilkan dari masing-masing jenis CMA, yaitu dengan mengamati secara morfologi. Hal ini dikarenakan setiap jenis spora CMA memiliki struktur yang berbeda satu dengan lainnya.
Identifikasi Cendawan Mikorhiza Arbuskular (CMA) secara sederhana dapat dilakukan dengan mengamati spora yang dihasilkan dari masing-masing jenis CMA, yaitu dengan mengamati secara morfologi. Hal ini dikarenakan setiap jenis spora CMA memiliki struktur yang berbeda satu dengan lainnya.
Cendawan
Mikorhiza Arbuskular (CMA), yang ditemukan dapat menginfeksi tanaman, terdapat
6 genus :
1. GlomuS
Spora Glomus
merupakan hasil dari perkembangan hifa, dimana ujung dari hifa akan mengalami
pembengkakan hingga terbentuklah spora. Perkembangan spora yang berasal dari
hifa inilah yang dinamakan Chlamidospora. Pada Glomus juga dikenal struktur
yang dinamakan sporocarp. Sporocarp ini merupakan hifa yang bercabang sehingga
membentuk chlamidospora.
2. Sclerocystis
Perkembangan
antara spora Sclerocystis sama dengan spora Glomus yaitu dari ujung hifa yang
mengalami pembengkakkan. Ujung hifa dari Sclerocystis memiliki banyak cabang
dan tiap-tiap cabang tersebut membentuk chlamidospora hingga terbentuk
sporocarp dimana apabila dibelah akan terlihat bentuknya seperti belahan jeruk.
Sporocarp biasanya berbentuk globose atau subglobose.
3. Gigaspora
Struktur spora
yang terbentuk biasanya globose, subglobose namun sering berbentuk ovoid,
pyriformis atau irregular. Spora pada genus Gigaspora ini terbentuk pada
mulanya berasal dari ujung hifa (subtending hifa) yang membulat yang disebut
suspensor, kemudian di atas bulbour suspensor tersebut terbentuk bulatan kecil
yang terus-menerus membesar dan akhirnya terbentuk bulatan kecil yang
terus-menerus membesar dan akhirnya terbentuklah struktur yang dinamakan spora.
Karena spora tersebut terbentuk dari suspensor maka dinamakan azygospora.
4. Scutellospora
Struktur spora
yang terbentuk biasanya globose atau subglobose tetapi sering berbentuk ovoid,
obovoid, pyriformis atau irregular. Proses terbentuknya spora pada
Scutellospora sama dengan pembentukkan spora pada genus Gigaspora. Namun yang
membedakan dengan genus Gigaspora adalah pada Scutellospora terdapat
germination shield, dan pada saat berkecambah hifa akan keluar dari germination
shield tersebut.
5. Acaulospora
Spora terbentuk
di tanah, memiliki bentuk globose, subglobose, ellipsoid maupun fusiformis.
Pada awalnya proses dari pembentukkan spora seolah-olah dimulai dari hifa,
namun sebenarnya bukanlah dari hifa. Pada awalnya terjadi pembengkakkan ujung
hifa yang strukturnya mirip spora yang dibuat hifa terminus. Kemudian muncul
bulatan kecil yang terbentuk diantara hifa terminus dan subtending hifa, selama
proses pembentukkan spora, hifa terminus tersebut akan rusak dan di dalamnya
terdapat spora. Pada spora yang telah masak terdapat satu lubang yang dinamakan
ciatric.
6. Enterophospora
Proses
pembentukkan spora Enterophospora hampir sama dengan proses pembentukkan spora
pada Acaulospora. Yang membedakan keduanya adalah pada proses perkembangan
azygospora berada di dalam, sehingga akan terbentuk dua lubang yang simetris pada
spora yang telah matang.
2.6 Asosiasi Mikoriza dengan Akar
Tanaman
Asosiasi terjadi
bila cendawan masuk ke dalam akar atau melakukan infeksi. Proses infeksi
dimulai dengan perkecambahan spora dalam tanah. Hifa yang tumbuh berpenetrasi
ke dalam akar lalu berkembang dalam korteks. Pada akar yang terinfeksi akan
terbentuk hifa interseluler yang tidak bercabang, terletak di ruangan antar sel.
Selain itu juga akan terbentuk hifa intraseluler yang bercabang secara
dichotomy (arbuskular), atau yang membengkok menjadi bulat atau bulat memanjang
(vesikel) dan hifa yang mengering (hifa gelung)(Anas dan Santosa, 1993).
Perkembangan
arbuskula mengikuti perkembangan hifa yang masuk ke dalam sel. Arbuskula
berkembang dengan sel korteks dari sub batang pada internal hifa. Vesikel
terinisiasi segera setelah adanya arbuskul pertama, akan tetapi diteruskan
berkembang ketika adanya arbuskul kedua. Fase terakhir, merupakan arbuskul yang
memenuhi sel (terbentuknya batang hifa yang terbaik). Hifa pada jaringan
korteks akar berkembang menyilang seperti dinding pada asosiasi tua. Penetrasi
hifa dan perkembangannya biasanya terjadi pada bagian yang masih mengalami proses
diferensiasi dan proses pertumbuhan. Perkembangan hifa ini tidak merusak sel
(Anas dan Santosa, 1993).
2.7 Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Cendawan Mikoriza Arbuskula
Banyak faktor biotik dan abiotik yang menentukan perkembangan CMA. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah suhu, kadar air tanah, pH, bahan organik tanah, intensitas cahaya dan ketersediaan hara, logam berat dan fungisida.
Banyak faktor biotik dan abiotik yang menentukan perkembangan CMA. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah suhu, kadar air tanah, pH, bahan organik tanah, intensitas cahaya dan ketersediaan hara, logam berat dan fungisida.
2.7.1 Suhu
Suhu yang relatif tinggi akan
meningkatkan aktifitas cendawan. Untuk daerah tropika basah, hal ini menguntungkan.
Proses perkecambahan dan pembentukan CMA melalui tiga tahap :
(1) Perkecambahan spora dalam tanah
(2) Penetrasi hifa ke dalam sel akar
(3) Perkembangan hifa di dalam korteks
akar.
Suhu optimum
untuk perkecambahan spora sangat beragam tergantung pada jenisnya. Beberapa
Gigaspora yang diisolasi dari tanah Florida, di wilayah subtropika, mengalami
perkecambahan paling baik pada suhu 340C, sedangkan untuk spesies Glomus yang
berasal dari wilayah yang beriklim dingin, suhu potimal untuk perkecambahan
adalah 200C. Penetrasi dan perkecambahan hifa dalam akar peka pula terhadap
suhu tanah. Pada umumnya infeksi akar oleh CMA meningkat dengan naiknya suhu
(Anas, 1993).
Suhu yang tinggi pada siang hari (350C) tidak menghambat perkembangan dan aktifitas fisiologi CMA. Peran mikoriza hanya menurun pada suhu diatas 400C. Suhu bukan faktor pembatas utama bagi aktivitas CMA. Suhu yang sangat tinggi lebih berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman inang (Mosse, 1981 dalam Widiarti 2007).
Suhu yang tinggi pada siang hari (350C) tidak menghambat perkembangan dan aktifitas fisiologi CMA. Peran mikoriza hanya menurun pada suhu diatas 400C. Suhu bukan faktor pembatas utama bagi aktivitas CMA. Suhu yang sangat tinggi lebih berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman inang (Mosse, 1981 dalam Widiarti 2007).
2.7.2 Kadar Air Tanah
Meskipun CMA dapat pula terbentuk pada
tanaman air, pada umumnya diyakini bahwa perkembangannya sangat terhambat pada
kondisi tanah yang tergenang. Pengetahuan tentang ekofisiologi CMA dalam
hubungannya dengan potensial air tanah penting untuk menilai CMA di daerah
tersebut.
Untuk tanaman yang tumbuh di daerah
kering, adanya CMA menguntungkan karena dapat meningkatkan kemampuan tanaman
untuk tumbuh dan bertahan pada kondisi yang kurang air. Adanya CMA dapat
memperbaiki dan meningkatkan kapasitas serapan air tanaman inang. Tanaman yang
tidak ber-CMA memiliki evapotranspirasi yang lebih besar dari tanaman yang
memiliki CMA.(Anonim, 2008)
Ada beberapa dugaan mengapa tanaman
bermikoriza lebih tahan terhadap kekeringan diantaranya adalah :
(1) Adanya mikoriza menyebabkan
resistensi akar terhadap gerakan air menurun, sehingga transpor air ke akar
meningkat.
(2) Tanaman kahat P lebih peka terhadap
kekeringan, adanya CMA menyebabkan status P tanaman meningkat sehingga
menyebabkan daya tahan terhadap kekeringan meningkat pula.
(3) Adanya hifa eksternal menyebabkan
tanaman ber-CMA lebih mampu mendapatkan air dari pada tanaman yang tidak
ber-CMA, tetapi jika mekanisme ini yang terjadi berarti kandungan logam berat
tanah lebih cepat menurun.
(4) Tanaman bermikoriza tahan terhadap
kekeringan karena pemakaian air yang ekonomis. Terdapat hubungan antara
potensial air tanah dan aktivitas mikoriza. Pada tanaman bermikoriza, jumlah
air yang dibutuhkan untuk memproduksi 1 gram bobot kering tanaman lebih sedikit
dari tanaman tidak bermikoriza.
(5) Pengaruh tidak langsung karena
adanya miselium eksternal menyebabkan CMA efektif dalam mengagregasi
butir-butir tanah sehingga kemampuan tanah menyimpan air meningkat.
2.7.3 pH Tanah
2.7.3 pH Tanah
Cendawan pada
umumnya lebih tahan terhadap perubahan pH tanah. Meskipun demikian daya adaptis
masing-masing spesies CMA terhadap pH tanah berbeda-beda, karena pH tanah
mempengaruhi perkecambahan, perkembangan dan peran mikoriza terhadap
pertumbuhan tanaman. Perubahan pH tanah melalui pengapuran akan berdampak merugikan
perkembangan MVA asli yang hidup pada tanah, sehingga pembentukan mikoriza
menurun.
2.7.4 Cahaya dan Ketersediaan Hara
Gardemann (1983)
dalam Anas (1993) menyimpulkan bahwa intensitas cahaya yang tinggi dan
kekahatan nitrogen dan fosfor akan meningkatkan jumlah karbohidrat di dalam
akar sehingga membuat tanaman lebih peka terhadap infeksi oleh CMA. Derajat
infeksi terbesar terjadi pada tanah-tanah yang mempunyai kesuburan yang rendah.
Pertumbuhan perakaran yang relatif aktif jarang terinfeksi oleh CMA. Jika
pertumbuhan dan perkembangan akar menurun maka infeksi CMA meningkat.
Peran mikoriza
yang erat kaitannya dengan P bagi tanaman menunjukkan keterkaitan khusus antara
mikoriza dan status P tanah. Pada wilayah beriklim sedang, konsentrasi P tanah
yang tinggi menyebabkan menurunnya infeksi CMA yang mungkin disebabkan oleh
konsentrasi P internal yang tinggi dalam jaringan inang (Anas, 1993)
2.7.5 Pengaruh Logam Berat dan Unsur
Lain
Pada tanah-tanah
tropika sering terdapat permasalahan salinitas dan keracunan alumunium maupun
mangan. Sedikit diketahui pengaruh CMA pada pengambilan sodium, klor, alumunium
dan mangan.
Pada percobaan
dengan menggunakan tiga jenis tanah dari wilayah iklim sedang didapatkan bahwa
pengaruh menguntungkan karena adanya CMA menurun dengan naiknya kandungan Al di
dalam tanah. Alumunium berkurang jika ke dalam larutan tanah ditambahkan
kalsium (Ca). Jumlah Ca dalam tanah mempengaruhi perkembangan CMA. Tanaman yang
ditumbuhkan pada tanah ini memiliki derajat infeksi yang rendah. Hal ini
mungkin disebabkan karena Ca2+ memelihara integritas sel.(Anonim, 2008)
Beberapa spesies
CMA diketahui mampu beradaptasi dengan tanah yang tercemar seng (Zn), tetapi
sebagian besar spesies CMA peka terhadap kandungan Zn yang tinggi. Pada
beberapa penelitian lain diketahui bahwa strain-strain tertentu mamapu toleran
terhadap kandungan Mn, Al dan Na yang tinggi (Mosse, 1981 dalam Anas, 1991)
2.7.6 Fungisida
Fungisida
merupakan racun kimia yang dirakit untuk membunuh cendawan penyebab penyakit,
beberapa fungisida meskipun dalam konsentrasi yang sangat rendah mampu
menyebabkan menurunnya kolonisasi CMA yang mengakibatkan terhambatnya
pertumbuhan tanaman dan pengambilan P. Pemakaian fungisida dapat membunuh CMA
yang berguna bagi pertumbuhan tanaman.(Anonim, 2008)
2.8 Manfaat Mikoriza
Nuharama (1994)
mengatakan bahwa sedikitnya ada lima hal yang dapat membantu perkembangan
tumbuhan dengan adanya mikoriza (Subiska, 2002 dalam Widirati 2007), yaitu :
1.
Mikoriza
dapat meningkatkan absorpsi hara dari dalam tanah
2.
Mikoriza
dapat berperan sebagai penghalang biologi terhadap infeksi patogen akar
3.
Mikoriza
meningkatkan ketahanan tumbuhan terhadap kekeringan dan kelembaban yang ekstrim
4.
Mikoriza
meningkatkan produksi hormon pertumbuhan dan zat pengatur tumbuh lainnya seperti
auksin
5.
Menjamin
terselenggaranya proses biogeokimia
Menurut Andurrani Muia, mikoriza juga mempunyai manfaat yang besar untuk pembangunan hutan terutama pada lahan kritis atau marginal. Manfaat tersebut yaitu mikoriza sebagai biofertilizer bagi tanaman kehutanan serta sebagai biokontrol tanaman terhadap kekeringan, keracunan logam berat dan patogen.
Menurut Andurrani Muia, mikoriza juga mempunyai manfaat yang besar untuk pembangunan hutan terutama pada lahan kritis atau marginal. Manfaat tersebut yaitu mikoriza sebagai biofertilizer bagi tanaman kehutanan serta sebagai biokontrol tanaman terhadap kekeringan, keracunan logam berat dan patogen.
2.8.1 Mikoriza
sebagai Biofertilizer bagi Tanaman Kehutanan
Para
peneliti telah banyak membuktikan bahwa cendawan ini mampu meningkatkan
penyerapan unsur hara (terutam fosfat) dan beberapa hara mikro. Hareley, 1968
dan Gianinazzi Pearson, (1981) dalam Muin mengatakan bahwa kebanyakan akar
tanaman yang berasosiasi dengan cendawan yang membentuk mikoriza dan sebagai
simbiosis diketahui meningkatkan hara fosfat tanaman. Dijelaskan oleh
Sieverding (1991) bahwa cendawan mikoriza arbuskula (CMA) yang menginfeksi
sistem perakaran tanaman inang akan memproduksi jalinan hifa secara intensif
sehingga tanaman bermikoriza akan mampu meningkatkan kapasitasnya dalam menyerap
unsur hara dan air. Bolan (1991) mengatakan bahwa fosfat adalah unsur hara
utama yang mampu diserap oleh tanaman bermikoriza. Selain itu dapat juga
menyerap NH (Hogber, 1989) dan juga unsur-unsur mikro seperti Cu, Zn, dan Mo
(De la Cruz, 1991 dalam Setiadi).
2.8.2 Mikoriza
sebagai Biokontrol Tanaman Terhadap Kekeringan
Garbaye
dan Wartinger (1992) membuktikan bahwa asosiasi cendawan arbuskular-veskular
mikoriza (VAM) dapat memodulasi (mengatur) ketahanan tanaman inangnya terhadap
berbagai osmotik, elastisitas dinding sel yang berubah-ubah atau kandungan air
yang sympastis. Selain telah pula dibuktikan bahwa VAM mampu memanen air di
bawah titik layu permanen, dimana air sangat terbatas dan tidak tersedia bagi
tanaman nonmikoriza. Kemampuan hifa memasuki pori-pori tanah yang paling kecil
dimana akar sudah tidak bisa menembus dan menjangkau air tersebut menyebabkan
tanaman bermikoriza selalu mendapatkan air meskipun dalam suasana kekeringan
(Muin, 2001 dalam Widiarti, 2007)
2.8.3 Mikoriza
sebagai Biokontrol Tanaman Terhadap Keracunan Logam Berat
Sejumlah
penelitian VAM dapat meningkatkan serapan logam, seperti Zn dan Cu. Logam-logam
yang diserap oleh VAM disimpan dalam hifanya dan tidak diteruskan ke akar,
namun belum diketahui fungsi logam tersebut bagi cendawan. (Muin, 2001). Selain
itu, pertumbuhan tanaman pada tanah-tanah yang tercemar logam berat dapat
ditingkatkan resistensinya jika dikolonisasi oleh CMA (Gildon dan Tinker,
1986), sehingga penggunaannya dapat berfungsi sebagai bioproteksi.
2.8.4 Mikoriza
sebagai Biokontrol Tanaman Terhadap Patogen
Imas
et al (1993) menyatakan bahwa struktur mikoriza dapat berfungsi sebagai
pelindung biologi bagi terjadinya patogen akar. Mekanisme perlindungan dapat diterangkan
sebagai berikut :
1. Adanya selaput hifa (mantel) dapat berfungsi sebagai barier masuknya patogen
1. Adanya selaput hifa (mantel) dapat berfungsi sebagai barier masuknya patogen
2. Mikoriza
menggunakan hampir semua kelebihan karbohidrat dan eksudat lainnya, sehingga
tercipta lingkungan yang tidak cocok untuk patogen
3. Cendawan mikoriza dapat mengeluarkan antibiotik yang dapat mematikan patogen
4. Akar tanaman yang sudah diinfeksi cendawan mikoriza, tidak dapat diinfeksi oleh cendawan patogen untuk menunjukkan adanya kompetisi (Subiska, 2002 dalam Widiarti, 2007)
3. Cendawan mikoriza dapat mengeluarkan antibiotik yang dapat mematikan patogen
4. Akar tanaman yang sudah diinfeksi cendawan mikoriza, tidak dapat diinfeksi oleh cendawan patogen untuk menunjukkan adanya kompetisi (Subiska, 2002 dalam Widiarti, 2007)
Sedangkan
menurut Anas dan Santosa (1993), peranan lain dari mikoriza dalam pertumbuhan
tumbuhan adalah sebagai produsen hormon dan zat pengatur tumbuh. Berdasarkan
hasil penelitian, didapatkan informasi bahwa cendawan mikoriza dapat
menghasilkan hormon seperti sitokinin, giberelin dan hasil metabolisme cendawan
mikoriza yang berupa vitamin. Mikoriza pun mampu menggantikan kebutuhan pupuk,
tidak menyebabkan pencemaran lingkungan sehingga aman bagi ekosistem, membantu
tanaman untuk beradaptasi dengan pH rendah, merahabilitas atau mereklamasi
daerah bekas tambang, serta melindungi tanaman terhadap toksisitas logam berat
karena logam berat akan diserap oleh hifa cendawan.
2.8.5 Peranan Ektomikoriza
2.8.5 Peranan Ektomikoriza
peningkatan
unsur hara ketahanan terhadap kekeringan ketahanan serangan patogen tanah berpotensi
untuk pembangunan hutan industry
2.8.6 Peranan
Endomikoriza
meningkatkan
pertumbuhan tanaman meningkatkan produktivitas mengurangi kebutuhan pemupukan
fosfat memproduksi bunga lebih awal memperpanjang masa pembungaan, pada tanaman
hias (Widiarti, 2007)
2.9 Pengamatan
Mikoriza di Laboratorium
Pengamatan spora
mikoriza
Sampel
tanah yang akan diamati berasal dari lokasi yang disekitarnya terdapat sistem
perakaran tanaman sampel. Diasumsikan bahwa apabila suatu sistem perakaran
telah terinfeksi mikoriza, maka tanah disekitarnya akan mengandung spora dari
mikoriza tersebut. Oleh karena itu, untuk dapat mengamati dan mengidentifikasi
spora mikoriza dari sampel tanah, dilakukan metoda Penyaringan Basah menurut
Schenk dan Perez (1990) dalam Widiarti (2007). Proses penyaringan dilakukan melalui
beberapa tahapan.
1. Sampel tanah
pada beberapa titik pengambilan yang berbeda dicampurkan sesuai letak
plot/transek. Kemudian dari campuran tersebut diambil sebanyak 200 gram lalu dimasukkan
ke dalam beaker glass.
2. Ditambahkan
satu liter air kemudian diaduk selama beberapa waktu sampai merata, setalah itu
diamkan campuran tersebut hingga air dan tanahnya terpisah.
3. Suspensi yang
diperoleh dilewatkan pada tiga saringan yang berbeda, yaitu saringan ukuran 125
µm, 63 µm, dan 45 µm.
4. Partikel yang
tertahan pada saringan 63 µm dan 45 µm dicuci dengan air bersih.
5. Partikel yang
telah dicuci dimasukkan ke dalam tabung sentrifuse 50 rpm selama lima menit
(untuk penyesuaian di lapangan, dapat diganti dengan melakukan pengendapan
selama 24 jam).
6. Supernatan
dibuang dan endapan ditambah larutan gula 30% sampai setengah bagian tabung
sentrifuse, kemudian lakukan sentrifuse selama lima menit (untuk penyesuaian
lapangan, pengocokan dilakukan dengan botol).
7. Supernatan
disaring dengan saringan ukuran 45 µm lalu dicuci dengan air mengalir. Spora
yang tertahan dimasukkan ke dalam cawan petri.
8. Amati di
bawah mikroskop stereo binokuler kemudian dilihat bentuk, warna dan ukurannya.
Pengamatan akar
yang terinfeksi mikoriza
Sampel
yang akan diamati berasal dari akar sekunder dan tersier. Akar dari tumbuhan
bawah ini diambil dan dipotong dengan panjang 1 cm. Kemudian akar tersebut
disimpan dalam botol film. Analisis laboratorium meliputi tahap pembuatan
preparat (pewarnaan) dan pengamatan di bawah mikroskop. Pembuatan preparat
diawali dengan pencucian akar dengan air sampai bersih dari tanah. Setelah itu,
dilakukan pewarnaan dengan metode Kormanik dan McGraw (1982).
Pada
pewarnaan ini, pertama-tama potongan-potongan akar tersebut dimasukkan dalam
botol film dan direndam dalam KOH 10%,akar dibersihkan dari KOH dengan bilasan
akuades sebanyak 3 kali sampai warna coklat tidak tampak lagi. Setelah itu,
akar direndam dalam HCl 1%. Kemudian HCl dibuang tanpa dibilas dan
potongan-potongan akar tersebut ditetesi pewarna air fuchsin atau asam fuchsin
asam laktat {875 ml asam laktat + 65 ml gliserin (0,2 gram fuchsin dan 62 ml
air)} selama 10-60 menit. Setelah terwarnai, tahap terakhir adalah mengamati
akar di bawah mikroskop.
2.10 Analisis
Data Pengamatan Mikoriza
Pada
setiap sampel yang berasal dari plot berbeda, spora yang dapat diamati dihitung
jumlahnya dan diidentifikasi jenisnya berdasarkan Schenk dan Perez (1990) dalam
Widiarti (2007).
Analisis data dilakukan dengan menghitung persentase keberadaan mikoriza pada setiap sampel akar yang terinfeksi menggunakan metode panjang slide(Setiadi,dkk.,1992).
Analisis data dilakukan dengan menghitung persentase keberadaan mikoriza pada setiap sampel akar yang terinfeksi menggunakan metode panjang slide(Setiadi,dkk.,1992).
Selain mengamati
derajat infeksi, dilakukan juga pengamatan terhadap kehadiran beberapa struktur
khusus dari mikoriza seperti kehadiran vesikula, arbuskula, dan ada tidaknya
hifa eksternal.
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2008.
http://id.wikipedia.org/wiki/Mikoriza. Diakses 28 Maret 2008
Anonim. 2008.
http://mbojo.wordpress.com/2007/03/16/mikoriza/. Diakses 28 Maret 2008
Anonim.2008.http://www.mycorrhizas.org/files/20070222_AMI2007.pdf.
Diakses 28 Maret 2008
Anas, Iswandi.
1993. Pupuk Hayati (Biofertilizer). Bogor: Laboratorium Biologi Tanah, Jurusan
Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Munawir. 2008.
Sebaran Infeksi Mikoriza pada Akar Macodes sp di Kawasan Panaruban Subang Jawa
Barat. Laporan Kerja Praktek. Jatinangor: Jurusan Biologi, Universitas
Padjadjaran.
Pujiyanto. 2001.
Pemanfatan Jasad Mikro, Jamu Mikoriza dan Bakteri Dalam Sistem Pertanian
Berkelanjutan Di Indonesia: Tinjauan Dari Perspektif Falsafah Sains. Makalah
Falsafah Sains Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor
Rao, N.S Subba.1994. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Rao, N.S Subba.1994. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Santosa, Dwi
Andreas. 1989. Teknik dan Metode Penelitian Mikorisa Vesikular-Arbuskular.
Laboraturium Biologi Tanah Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Institut Pertanian
Bogor. Bogor
Salisbury, F.B
dan C.W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Jilid 1. Bandung: Penerbit ITB.
Setiadi, Yadi, dkk. 1992. Mikrobiologi Tanah Hutan. Petunjuk Laboratorium. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor.
Setiadi, Yadi, dkk. 1992. Mikrobiologi Tanah Hutan. Petunjuk Laboratorium. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor.
Widiarti, Ira.
2007. Sebaran Spora Mikoriza pada Seedling di Hutan Pantai Barat Cagar Alam
Pananjung Pangandaran. Laporan Kuliah Kerja Lapangan. Jatinangor: Jurusan
Biologi, Universitas Padjadjaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan komentar ya.... ^-^