Rabu, 17 Juli 2013

Mikoriza, Peranan dan Hubungan Dengan Faktor Lingkungan

BAB I
PENDAHULUAN
Lingkungan tanah merupakan lingkungan yang terdiri dari gabungan antara lingkungan abiotik dan lingkungan biotik. Gabungan dari kedua lingkungan ini menghasilkan suatu wilayah yang dapat dijadikan sebagai tempat tinggal bagi beberapa jenis makhluk hidup, salah satunya adalah mesofauna tanah. Tanah dapat didefinisikan sebagai medium alami untuk pertumbuhan tanaman yang tersusun atas mineral, bahan organik, dan organisme hidup. Kegiatan biologis seperti pertumbuhan akar dan metabolisme mikroba dalam tanah berperan dalam membentuk tekstur dan kesuburannya (Rao, 1994).
Mikoriza adalah jamur yang hidup secara bersimbiosis dengan sistem perakaran tanaman tingkat tinggi. Walau ada juga yang bersimbiosis dengan rizoid (akar semu) jamur(Anonim,2008). Istilah mikoriza berasal dari kata myces yang berarti cendawan dan rhizae yang berarti akar, jadi secara harifiah mikoriza memiliki arti akar jamur atau akar yang diliputi oleh jamur. Asosiasi simbiotik antara jamur dengan akar tanaman yang membentuk jalinan interaksi yang kompleks dikenal dengan mikoriza yang secara harfiah berarti “akar jamur” (Atmaja, 2001).
Secara umum mikoriza di daerah tropika tergolong didalam dua tipe yaitu: Mikoriza Vesikular-Arbuskular (MVA)/Endomikoriza dan Vesikular-Arbuskular Mikoriza (VAM)/Ektomikoriza. Jamur ini pada umumnya tergolong kedalam kelompok ascomycetes dan basidiomycetes (Pujianto, 2001 dalam Anonim, 2008).
Mikoriza berasal dari kata Miko (Mykes = cendawan) dan Riza yang berarti Akar tanaman. Struktur yang terbentuk dari asosiasi ini tersusun secara beraturan dan memperlihatkan spektrum yang sangat luas baik dalam hal tanaman inang, jenis cendawan maupun penyebarannya.
Nahamara (1993) dalam Subiksa (2002) mengatakan bahwa mikoriza adalah suatu struktur yang khas yang mencerminkan adanya interaksi fungsional yang saling menguntungkan antara suatu tumbuhan tertentu dengan satu atau lebih galur mikobion dalam ruang dan waktu.(Anonim, 2008).
Kondisi lingkungan tanah yang cocok untuk perkecambahan biji juga cocok untuk perkecambahan spora mikoriza. Demikian pula kindisi edafik yang dapat mendorong pertumbuhan akar juga sesuai untuk perkembangan hifa. Jamur mikoriza mempenetrasi epidermis akar melalui tekanan mekanis dan aktivitas enzim, yang selanjutnya tumbuh menuju korteks. Pertumbuhan hifa secara eksternal terjadi jika hifa internal tumbuh dari korteks melalui epidermis. Pertumbuhan hifa secara eksternal tersebut terus berlangsung sampai tidak memungkinnya untuk terjadi pertumbuhan lagi. Bagi jamur mikoriza, hifa eksternal berfungsi mendukung fungsi reproduksi serta untuk transportasi karbon serta hara lainnya kedalam spora, selain fungsinya untuk menyerap unsur hara dari dalam tanah untuk digunakan oleh tanaman (Pujianto, 2001 dalam Anonim, 2008).
















BAB II
ISI
2.1 Pengertian Mikoriza
Mikoriza merupakan asosiasi simbiotik antara jamur dan sistem perakaran tanaman tinggi. Mikoriza yang berarti akar jamur pertama kali ditemukan oleh botaniwan Jerman, Frank pada tahun 1855 (Rao, 1994). Dalam bahasa latin, istilah mikoriza (mycorrhyza) merupakan gabungan dari kata myces yang berarti jamur (cendawan) dan rhyza yang artinya akar. Hubungan antara cendawan dan akar ini hanya terjadi pada akar tumbuhan khususnya akar halus dan masih muda serta tidak pernah pada bagian yang lain (Muin, 2001 dalam Widiarti, 2007).
Mikoriza merupakan gabungan simbiotik dan mutualistik antara cendawan bukan patogen atau patogen lemah dengan sel akar hidup terutama korteks dan sel epidermis. Cendawan menerima unsur hara organik yang berasal dari tumbuhan, dan memperbaiki kemampuan akar dalam menyerap air dan mineral (Salisbury dan Ross, 1995). Cendawan ini bersama dengan kelompoknya merupakan suatu golongan organisme khusus, berkemampuan menyerang organ-organ tumbuhan di bawah tanah (subterranean organs of plants), hidup bertahan dengan unsur-unsur organiknya. Dengan terinfeksi, pertumbuhan akar menjadi lambat atau berhenti, sehingga mikoriza sering hanya mempunyai sedikit rambut akar. Keadaan ini mengakibatkan pengurangan permukaan penyerapan. Kecuali bila hifa cendawan yang pipih dan mampu merusak dari mikoriza meningkatkan terobosan ke tanah. Sehingga, hifa mengambil alih fungsi penyerapan rambut akar (Salisbury dan Ross, 1995).

2.2 Pembagian Mikoriza
Secara umum mikoriza digolongkan menjadi 3 tipe berdasarkan struktur tubuh dan cara infeksi terhadap tanaman inang :
1.Ektomikoriza
Suatu perakaran ektomikoriza tidak memiliki rambut akar dan tertutup oleh selapis atau selubung hifa jamur yang hampir tampak mirip dengan jaringan inang. Lapisan tersebut disebut selubung pseudoparenkimatis. Masing-masing cabang akar diselubungi hifa cendawan (disebut mantel hifa), sehingga ukuran akar tampak membesar. Hifa tumbuh memasuki korteks dan hanya tinggal di lapisan sel-sel korteks luar untuk membentuk jaring-jaring yang disebut ‘jala hartig’. Jala hartig inilah yang berperan dalam mentranasportasikan seluruh nutrisi yang diserap oleh mantel cendawan akar.
Pada umumnya, jamur yang terlibat dalam ektomikoriza termasuk Basidiomycetes yang meliputi famili-famili Amanitaceae, Boletaceae, Cortinariaceae, Russulaceae, Tricholomataceae, Rhizopogonaceae dan Sclerodermataceae. Jamur-jamur itu termasuk dalam genus-genus Amanita, Boletus, Cantharellus, Cortinarius, Entoloma, Gomphidius, Hebeloma, Inocybe, Lactarius, Paxillus, Russula, Rhizopogon, Scleroderma dan Cenococcum (Rao, 1994). Terdapat pula ektomikoriza pada famili Pinaceae, Salicaceae, Betulaceae, Fagaceae, Juglandaceae, Cesalpinaceae, dan Tiliaceae. Beberapa genus seperti Pinus, Picea, Abies, Pseudotsuga, Cedrus, Larix, Querqus, Castanea, Fagus, Nothofagus, Betula, Alnusn, Salix, Carya, dan Populus memiliki infeksi ektomikoriza (Rao, 1994).
2.Endomikoriza
Cendawan yang menginfeksi tidak menyebabkan pembesaran akar. Jaringan hifa cendwan masuk ke dalam sel korteks akar dan membentuk struktur khas berbentuk oval yang disebut vesikel dan sistem percabangan hifa yang dichotomous yang disebut arbuskul. Cendawan yang hidup intraselular ini membentuk hubungan langsung antar sel-sel akar dan tanah sekitarnya.
Cendawan endomikoriza umumnya berasal dari ordo Glomales (Zygomycetes) yang terbagi ke dalam subordo Glominae dan Gigasporinae (Pujiyanto, 2004). Tipe cendawan ini wilayah asosiasinya lebih luas, yaitu selain berasosiasi dengan jenis-jenis pohon hutan yang dipakai untuk HTI dan reboisasi lainnya (Acacia mangium, Switenia macrophylla, Pterocarpus sp, dll) juga dapat berasosiasi dengan berbagai tanaman pertanian, hortikultura dan pastura (tanaman pakan ternak) (Setiadi, 2004).
3.Ektendomikoriza
Infeksi hifa dari cendawan tipe ini memiliki bentuk intermediet dari ektomikoriza dan endomikoriza. Hifa cendawan ektendomikoriza membentuk selubung tipis berupa jaringan hartig pada akar. Selain menginfeksi dinding sel korteks, infeksi juga terjadi pada sel-sel korteksnya. Penyebaran cendawan terbatas pada tanah-tanah hutan (Anas dan Santosa, 1993)
2.3 Ekologi Mikoriza
Secara umum mikoriza di daerah tropika tergolong ke dalam dua tipe yaitu ektomikoriza (ECM) dan endomikoriza atau arbuscular mycorriza (AM). Jamur ektomikoriza pada umumnya tergolong ke dalam kelompok Ascomycetes dan Basidiomycetes. Asosiasi simbiotik antara akar tanaman dengan jamur mikoriza tersebut menyebabkan terbentuknya luas serapan yang lebih besar dan lebih mampu memasuki ruang pori yang lebih kecil sehingga meningkatkan kemampuan tanaman untuk menyerap unsur hara, terutama unsur hara seperti P, Cu dan Zn. Selain itu juga menyebabkan tanaman lebih toleran terhadap keracunan logam, serangan penyakit khususnya patogen akar, kekeringan, suhu tanah yang tinggi dan kondisi pH yang tidak sesuai.
Faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap perkembangan spora cendawan mikoriza. Kondisi lingkungan dan edafik yang cocok untuk perkecambahan biji dan pertumbuhan akar tumbuhan biasanya juga cocok untuk perkecambahan spora cendawan. Cendawan pada umumnya memiliki ketahanan yang cukup baik pada rentang faktor lingkungan fisik yang lebar. Mikoriza tidak hanya dapat berkembang pada tanah berdrainase baik, tapi juga pada lahan tergenang seperti pada sawah. Bahkan pada lingkungan yang sangat miskin atau lingkungan yang tercemar limbah berbahaya, cendawan mikoriza masih memperlihatkan eksistensinya (Aggangan et al, 1998 dalam Subiska 2002).
Ekosistem alami mikoriza di daerah tropika dicirikan oleh keragaman spesies yang sangat tinggi, khususnya dari jenis ektomikoriza (Muyanziza et al, 1997 dalam Subiska, 2002). Hutan alami yang terdiri dari banyak spesies tumbuhan dan umur seragam sangat berpengaruh terhadap jumlah dan keragaman mikoriza. Akumulasi perubahan lingkungan mulai dari penebangan hutan, pembakaran, kerusakan struktur dan pemadatan tanah akan mengurangi propagula cendawan mikoriza. Efektivitas mikoriza dipengaruhi oleh faktor lingkungan tanah yang meliputi faktor abiotik seperti konsentrasi hara, pH, kadar air, temperatur, pengolahan tanah dan penggunaan pupuk atau pestisida serta faktor biotik seperti interaksi mikrobial, spesies cendawan, tumbuhan inang, tipe perakaran tumbuhan inang dan kompetisi antara cendawan mikoriza (Subiska, 2002).
2.4 Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA)
Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) merupakan salah satu tipe cendawan dari golongan endomikoriza. CMA terdapat pada semua lahan tropis dan semua ekosistem terestrial (darat). Kemampuan berasosiasinya tinggi, yaitu hampir 90% jenis tanaman. Oleh karena itu, aplikasi CMA tidak terbatas untuk tanaman monokultur, tetapi juga dapat diaplikasikan untuk pola tanaman campuran seperti agroforestry (tumpang sari, alley cropping, sistem lorong) (Setiadi, 2004).
Cendawan mikoriza arbuskula (CMA) membentuk spora di dalam tanah dan dapat berkembang baik jika berasosiasi dengan tanaman inang. Spora cendawan ini cukup bervariasi dan sekitar 100µm sampai 600 µm. Ukuran yang cukup besar ini menyebabkan spora CMA mudah diisolasi dari dalam tanah dengan cara penyaringan. Pada akar, hanya korteks primer dan sekunder yang menjadi tempat terjadinya infeksi. Berbeda dengan infeksi oleh patogen, infeksi CMA tidak menyebabkan luka maupun perubahan warna. Pada permukaan akar juga sering dijumpai hifa, akan tetapi hifa tersebut tidak cukup banyak untuk menutupi akar seperti pada ektomikoriza. Dengan adanya hifa eksternal ini, maka areal perakaran bertambah. Dengan bertambahnya akar eksternal ini, maka kemampuan untuk menyerap unsur hara terutama P dan air bertambah (Mosse, 1981 dalam Anas 1993).
Cendawan mikoriza arbuskula membentuk organ-organ khusus dan mempunyai peranan yang juga spesifik. Organ khusus tersebut adalah arbuskul (arbuscle), vesikel (vesicle) dan spora. Ada dua struktur khas yang dibentuk oleh jamur mikoriza vesikula arbuskula (Mosse, 1981 dalam Widiarti,2007), yaitu :
1.Arbuskula
Dibentuk secara intraseluler oleh percabangan yang berulang-ulang dari suatu infeksi hifa, tukar menukar nutrien mungkin lebih banyak antara tanaman inang dengan simbion. Arbuskula terbentuk setelah 2-3 hari inang terinfeksi. Hidupnya relatif pendek 1-3 minggu dan akan melakukan degenerasi ke suatu massa granular dari materi dinding jamur ke dalam sel inang.
2.Vesikula
Memiliki bentuk yang menyerupai kantung dan menggelembung, dibentuk di bagian ujung hifa. Vesikula mengandung lemak dan diperkirakan bertindak sebagai tempat penyimpanan sementara. Secara normal, vesikula terbentuk setelah arbuskula, dan biasanya menjadi lebih banyak pada waktu tanaman dewasa. Bentuk vesikula, struktur dinding, kandungan dan jumlahnya berbeda tergantung jenis jamur yang membentuk mikoriza.
Cendawan mikoriza arbuskula yang dikenal dengan sebutan mikoriza vesikular-arbuskular (MVA) sukar untuk dikenal dari morfologi akarnya. Oleh karena itu, penggunaan mikroskop merupakan suatu cara yang sering ditempuh untuk menjelaskan adanya CMA pada akar suatu tanaman. Cara mempelajari asosiasi CMA sangat bergantung pada arah penelitian. Namun diperlukan pencucian isi sel akar dan pewarnaan struktur CMA.
Perkembangan CMA terjadi antara lain pada saat miselium eksternal dalam tanah membentuk spora yang tersebar di sekitar akar. Sedangkan hifa yang ada di dalam sel atau akar tanaman terdiri dari hifa yang tidak bercabang yang terletak di antara sel, hifa intraseluler. Selain itu, terdapat hifa intraseluler yang bercabang secara diktomi (arbuskular) atau yang membengkak menjadi bulat atau bulat memanjang (vesikel) dan hifa mengering (hifa gelung) (Anas, 1993).
2.4.1Arbuskula
Arbuskula merupakan percabangan dari hifa masuk ke dalam sel tanaman inang. Masuknya hifa ini ke dalam sel tanaman inang diikuti oleh peningkatan sitoplsma, pembentukan organ baru, pembengkokan inti sel, peningkatan respirasi dan aktivitas enzim. Siklus hidup arbuskula cukup singkat yaitu antara satu sampai tiga minggu (Mosse, 1981 dalam Anas, 1993)
Hifa intraseluler yang telah mencapai sel korteks yang lebih dalam letaknya akan menembus dinding sel dan membentuk sistem percabangan hifa yang kompleks, tampak seperti pohon kecil yang mempunyai cabang-cabang yang dinamakan arbuskul. Arbuskul dianggap sebagai struktur utama yang terlihat di alam transfer dua hara antara simbion cendawan dan tanaman inang.
Mosse dan Herper (1975) mengamati bahwa struktur yang dibentuk pada akar-akar muda adalah arbuskul. Dengan bertambahnya umur, arbuskul ini berubah menjadi satu struktur yang menggumpal dan cabang-cabang pada arbuskul kemudian tidak dapat dibedakan lagi. Pada akar yang telah dikolonisasi dengan CMA dapat dilihat berbagai arbuskul dewasa yang dibentuk berdasarkan umur dan letaknya. Arbuskul dewasa terletak dekat pada sumber unti kolonisasi tersebut.
Tanaman inang yang terinfeksi sama tanggapannya dengan patogen yang masuk ke dalam akar, akan tetapi sitoplasma tanaman inang tidak kembali (rusak). Bila arbuskula hilang dari dalam sel, inti kembali seperti biasa dan sitoplasma tetap berfungsi. Kadang-kadang celah tanaman dapat terinfeksi CMA untuk kedua kalinya.
2.4.2 Vesikula (Vesicle)
Organ ini berbentuk kantung di ujung hifa. Vesikula memiliki banyak lemak yang berfungsi untuk penyimpanan. Vesikula ini dapat terlepas dari akar tanaman bila terkelupas. Vesikel yang terpisah ini akan berkecambah dan tumbuh serta mnginfeksi akar yang baru. Terkadang, vesikula ini sukar dibedakan dengan spora pada saat penyaringa. Namun karena ukuran vesikula relatif lebih kecil (diameter spora 2-5 kali lebih besar), dan berbentuk agak lonjong (spora bulat), maka kedua organ ini dapat dibedakan dengan cepat. Vesikel di bentuk oleh hifa intraseluler atau interseluler dan dijumpai dalam sel korteks luar dan dalam. Struktur ini dijumpai pada Glomus sp. dan Aclauspotra sp. (Gadermann dan Trappe, 1974 dalam Anas, 1993).
Pada awal perkembangan vesikel, sitoplasma cukup padat, berinti banyak dan mengandung partikel-partikel kecil dan glikogen. Kemudian sitoplasma menjadi lebih padat dan selama fase ini kandungan lipid bertambah banyak. Pada saat dewasa, hampir seluruh isi vesikel ditempati oleh butir-butir lipid. Sel korteks yang dikolonisasi oleh vesikel mempunyai ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan yang tidak dikolonisasi. Umumnya vesikel dibentuk dalam jumlah banyak di bagian korteks luar dari unit kolonisasi ynag sudah lanjut usianya, namun ada pula vesikula yang dibentuk tanpa pembentukan arbuskul lebih dahulu.
2.4.3 Spora
Spora terbentuk pada ujung hifa eksternal. Spora ini dapat dibentuk secara tunggal, berkelompok atau di dalam sporokarp tergantung pada jenis cendawannya. Perkecambahan spora sangat sensitif terhadap kandungan logam berat di dalam tanah dan begitu juga dengan kandungan Al. Kandungan Mn juga mempengaruhi pertumbuhan miselium. Spora dapat hidup di dalam tanah beberapa bulan sampai beberapa tahun. Namun, untuk berkembang CMA memerlukan tanaman inang. Spora dapat disimpan dalam waktu yang lama sebelum digunakan lagi.(Widiarti, 2007)
Proses infeksi CMA dimulai dengan pembentukan apresorium pada perkembangan akar oleh hifa eksternal. Hifa eksternal ini berasal dari spora yang berkecambah ataupun di akar tanaman yang sudah terinfeksi. Hifa CMA akan masuk ke dalam akar menembus atau melalui celah antar sel epidermis, kemudian apresorium akan tersebar baik interseluler maupun intraseluler di dalam korteks sepanjang akar. Kadang-kadang terbentuk pula jaringan hifa yang rumit di dalam sel-sel kortikal luar. Setelah proses-proses tersebut berlangsung, barulah terbentuk arbuskula, vesikel, dan akhirnya spora (Anas, 1993)
2.5 Identifikasi dan Klasifikasi genus Cendawan Mikorhiza
Jamur pembentuk ektomikorhiza biasanya Basidiomycetes diantaranya dari genera Amanita, Boletus, Laccaria, Pisolithus dan Scleroderma (Setiadi, 1989). Beberapa jamur hanya spesifik untuk satu inang, sedangkan yang lain mempunyai rentangan inang yang luas.
Identifikasi Cendawan Mikorhiza Arbuskular (CMA) secara sederhana dapat dilakukan dengan mengamati spora yang dihasilkan dari masing-masing jenis CMA, yaitu dengan mengamati secara morfologi. Hal ini dikarenakan setiap jenis spora CMA memiliki struktur yang berbeda satu dengan lainnya.
Cendawan Mikorhiza Arbuskular (CMA), yang ditemukan dapat menginfeksi tanaman, terdapat 6 genus :
1. GlomuS
Spora Glomus merupakan hasil dari perkembangan hifa, dimana ujung dari hifa akan mengalami pembengkakan hingga terbentuklah spora. Perkembangan spora yang berasal dari hifa inilah yang dinamakan Chlamidospora. Pada Glomus juga dikenal struktur yang dinamakan sporocarp. Sporocarp ini merupakan hifa yang bercabang sehingga membentuk chlamidospora.

2. Sclerocystis
Perkembangan antara spora Sclerocystis sama dengan spora Glomus yaitu dari ujung hifa yang mengalami pembengkakkan. Ujung hifa dari Sclerocystis memiliki banyak cabang dan tiap-tiap cabang tersebut membentuk chlamidospora hingga terbentuk sporocarp dimana apabila dibelah akan terlihat bentuknya seperti belahan jeruk. Sporocarp biasanya berbentuk globose atau subglobose.
3. Gigaspora
Struktur spora yang terbentuk biasanya globose, subglobose namun sering berbentuk ovoid, pyriformis atau irregular. Spora pada genus Gigaspora ini terbentuk pada mulanya berasal dari ujung hifa (subtending hifa) yang membulat yang disebut suspensor, kemudian di atas bulbour suspensor tersebut terbentuk bulatan kecil yang terus-menerus membesar dan akhirnya terbentuk bulatan kecil yang terus-menerus membesar dan akhirnya terbentuklah struktur yang dinamakan spora. Karena spora tersebut terbentuk dari suspensor maka dinamakan azygospora.
4. Scutellospora
Struktur spora yang terbentuk biasanya globose atau subglobose tetapi sering berbentuk ovoid, obovoid, pyriformis atau irregular. Proses terbentuknya spora pada Scutellospora sama dengan pembentukkan spora pada genus Gigaspora. Namun yang membedakan dengan genus Gigaspora adalah pada Scutellospora terdapat germination shield, dan pada saat berkecambah hifa akan keluar dari germination shield tersebut.

5. Acaulospora
Spora terbentuk di tanah, memiliki bentuk globose, subglobose, ellipsoid maupun fusiformis. Pada awalnya proses dari pembentukkan spora seolah-olah dimulai dari hifa, namun sebenarnya bukanlah dari hifa. Pada awalnya terjadi pembengkakkan ujung hifa yang strukturnya mirip spora yang dibuat hifa terminus. Kemudian muncul bulatan kecil yang terbentuk diantara hifa terminus dan subtending hifa, selama proses pembentukkan spora, hifa terminus tersebut akan rusak dan di dalamnya terdapat spora. Pada spora yang telah masak terdapat satu lubang yang dinamakan ciatric.
6. Enterophospora
Proses pembentukkan spora Enterophospora hampir sama dengan proses pembentukkan spora pada Acaulospora. Yang membedakan keduanya adalah pada proses perkembangan azygospora berada di dalam, sehingga akan terbentuk dua lubang yang simetris pada spora yang telah matang.
2.6 Asosiasi Mikoriza dengan Akar Tanaman
Asosiasi terjadi bila cendawan masuk ke dalam akar atau melakukan infeksi. Proses infeksi dimulai dengan perkecambahan spora dalam tanah. Hifa yang tumbuh berpenetrasi ke dalam akar lalu berkembang dalam korteks. Pada akar yang terinfeksi akan terbentuk hifa interseluler yang tidak bercabang, terletak di ruangan antar sel. Selain itu juga akan terbentuk hifa intraseluler yang bercabang secara dichotomy (arbuskular), atau yang membengkok menjadi bulat atau bulat memanjang (vesikel) dan hifa yang mengering (hifa gelung)(Anas dan Santosa, 1993).
Perkembangan arbuskula mengikuti perkembangan hifa yang masuk ke dalam sel. Arbuskula berkembang dengan sel korteks dari sub batang pada internal hifa. Vesikel terinisiasi segera setelah adanya arbuskul pertama, akan tetapi diteruskan berkembang ketika adanya arbuskul kedua. Fase terakhir, merupakan arbuskul yang memenuhi sel (terbentuknya batang hifa yang terbaik). Hifa pada jaringan korteks akar berkembang menyilang seperti dinding pada asosiasi tua. Penetrasi hifa dan perkembangannya biasanya terjadi pada bagian yang masih mengalami proses diferensiasi dan proses pertumbuhan. Perkembangan hifa ini tidak merusak sel (Anas dan Santosa, 1993).
2.7 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Cendawan Mikoriza Arbuskula
Banyak faktor biotik dan abiotik yang menentukan perkembangan CMA. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah suhu, kadar air tanah, pH, bahan organik tanah, intensitas cahaya dan ketersediaan hara, logam berat dan fungisida.
2.7.1 Suhu
Suhu yang relatif tinggi akan meningkatkan aktifitas cendawan. Untuk daerah tropika basah, hal ini menguntungkan. Proses perkecambahan dan pembentukan CMA melalui tiga tahap :
(1) Perkecambahan spora dalam tanah
(2) Penetrasi hifa ke dalam sel akar
(3) Perkembangan hifa di dalam korteks akar.
Suhu optimum untuk perkecambahan spora sangat beragam tergantung pada jenisnya. Beberapa Gigaspora yang diisolasi dari tanah Florida, di wilayah subtropika, mengalami perkecambahan paling baik pada suhu 340C, sedangkan untuk spesies Glomus yang berasal dari wilayah yang beriklim dingin, suhu potimal untuk perkecambahan adalah 200C. Penetrasi dan perkecambahan hifa dalam akar peka pula terhadap suhu tanah. Pada umumnya infeksi akar oleh CMA meningkat dengan naiknya suhu (Anas, 1993).
Suhu yang tinggi pada siang hari (350C) tidak menghambat perkembangan dan aktifitas fisiologi CMA. Peran mikoriza hanya menurun pada suhu diatas 400C. Suhu bukan faktor pembatas utama bagi aktivitas CMA. Suhu yang sangat tinggi lebih berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman inang (Mosse, 1981 dalam Widiarti 2007).
2.7.2 Kadar Air Tanah
Meskipun CMA dapat pula terbentuk pada tanaman air, pada umumnya diyakini bahwa perkembangannya sangat terhambat pada kondisi tanah yang tergenang. Pengetahuan tentang ekofisiologi CMA dalam hubungannya dengan potensial air tanah penting untuk menilai CMA di daerah tersebut.
Untuk tanaman yang tumbuh di daerah kering, adanya CMA menguntungkan karena dapat meningkatkan kemampuan tanaman untuk tumbuh dan bertahan pada kondisi yang kurang air. Adanya CMA dapat memperbaiki dan meningkatkan kapasitas serapan air tanaman inang. Tanaman yang tidak ber-CMA memiliki evapotranspirasi yang lebih besar dari tanaman yang memiliki CMA.(Anonim, 2008)
Ada beberapa dugaan mengapa tanaman bermikoriza lebih tahan terhadap kekeringan diantaranya adalah :
(1) Adanya mikoriza menyebabkan resistensi akar terhadap gerakan air menurun, sehingga transpor air ke akar meningkat.
(2) Tanaman kahat P lebih peka terhadap kekeringan, adanya CMA menyebabkan status P tanaman meningkat sehingga menyebabkan daya tahan terhadap kekeringan meningkat pula.
(3) Adanya hifa eksternal menyebabkan tanaman ber-CMA lebih mampu mendapatkan air dari pada tanaman yang tidak ber-CMA, tetapi jika mekanisme ini yang terjadi berarti kandungan logam berat tanah lebih cepat menurun.
(4) Tanaman bermikoriza tahan terhadap kekeringan karena pemakaian air yang ekonomis. Terdapat hubungan antara potensial air tanah dan aktivitas mikoriza. Pada tanaman bermikoriza, jumlah air yang dibutuhkan untuk memproduksi 1 gram bobot kering tanaman lebih sedikit dari tanaman tidak bermikoriza.
(5) Pengaruh tidak langsung karena adanya miselium eksternal menyebabkan CMA efektif dalam mengagregasi butir-butir tanah sehingga kemampuan tanah menyimpan air meningkat.

2.7.3 pH Tanah
Cendawan pada umumnya lebih tahan terhadap perubahan pH tanah. Meskipun demikian daya adaptis masing-masing spesies CMA terhadap pH tanah berbeda-beda, karena pH tanah mempengaruhi perkecambahan, perkembangan dan peran mikoriza terhadap pertumbuhan tanaman. Perubahan pH tanah melalui pengapuran akan berdampak merugikan perkembangan MVA asli yang hidup pada tanah, sehingga pembentukan mikoriza menurun.

2.7.4 Cahaya dan Ketersediaan Hara
Gardemann (1983) dalam Anas (1993) menyimpulkan bahwa intensitas cahaya yang tinggi dan kekahatan nitrogen dan fosfor akan meningkatkan jumlah karbohidrat di dalam akar sehingga membuat tanaman lebih peka terhadap infeksi oleh CMA. Derajat infeksi terbesar terjadi pada tanah-tanah yang mempunyai kesuburan yang rendah. Pertumbuhan perakaran yang relatif aktif jarang terinfeksi oleh CMA. Jika pertumbuhan dan perkembangan akar menurun maka infeksi CMA meningkat.
Peran mikoriza yang erat kaitannya dengan P bagi tanaman menunjukkan keterkaitan khusus antara mikoriza dan status P tanah. Pada wilayah beriklim sedang, konsentrasi P tanah yang tinggi menyebabkan menurunnya infeksi CMA yang mungkin disebabkan oleh konsentrasi P internal yang tinggi dalam jaringan inang (Anas, 1993)
2.7.5 Pengaruh Logam Berat dan Unsur Lain
Pada tanah-tanah tropika sering terdapat permasalahan salinitas dan keracunan alumunium maupun mangan. Sedikit diketahui pengaruh CMA pada pengambilan sodium, klor, alumunium dan mangan.
Pada percobaan dengan menggunakan tiga jenis tanah dari wilayah iklim sedang didapatkan bahwa pengaruh menguntungkan karena adanya CMA menurun dengan naiknya kandungan Al di dalam tanah. Alumunium berkurang jika ke dalam larutan tanah ditambahkan kalsium (Ca). Jumlah Ca dalam tanah mempengaruhi perkembangan CMA. Tanaman yang ditumbuhkan pada tanah ini memiliki derajat infeksi yang rendah. Hal ini mungkin disebabkan karena Ca2+ memelihara integritas sel.(Anonim, 2008)
Beberapa spesies CMA diketahui mampu beradaptasi dengan tanah yang tercemar seng (Zn), tetapi sebagian besar spesies CMA peka terhadap kandungan Zn yang tinggi. Pada beberapa penelitian lain diketahui bahwa strain-strain tertentu mamapu toleran terhadap kandungan Mn, Al dan Na yang tinggi (Mosse, 1981 dalam Anas, 1991)
2.7.6 Fungisida
Fungisida merupakan racun kimia yang dirakit untuk membunuh cendawan penyebab penyakit, beberapa fungisida meskipun dalam konsentrasi yang sangat rendah mampu menyebabkan menurunnya kolonisasi CMA yang mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan tanaman dan pengambilan P. Pemakaian fungisida dapat membunuh CMA yang berguna bagi pertumbuhan tanaman.(Anonim, 2008)
2.8 Manfaat Mikoriza
Nuharama (1994) mengatakan bahwa sedikitnya ada lima hal yang dapat membantu perkembangan tumbuhan dengan adanya mikoriza (Subiska, 2002 dalam Widirati 2007), yaitu :
1.      Mikoriza dapat meningkatkan absorpsi hara dari dalam tanah
2.      Mikoriza dapat berperan sebagai penghalang biologi terhadap infeksi patogen akar
3.      Mikoriza meningkatkan ketahanan tumbuhan terhadap kekeringan dan kelembaban yang ekstrim
4.      Mikoriza meningkatkan produksi hormon pertumbuhan dan zat pengatur tumbuh lainnya seperti auksin
5.      Menjamin terselenggaranya proses biogeokimia
Menurut Andurrani Muia, mikoriza juga mempunyai manfaat yang besar untuk pembangunan hutan terutama pada lahan kritis atau marginal. Manfaat tersebut yaitu mikoriza sebagai biofertilizer bagi tanaman kehutanan serta sebagai biokontrol tanaman terhadap kekeringan, keracunan logam berat dan patogen.

2.8.1 Mikoriza sebagai Biofertilizer bagi Tanaman Kehutanan
Para peneliti telah banyak membuktikan bahwa cendawan ini mampu meningkatkan penyerapan unsur hara (terutam fosfat) dan beberapa hara mikro. Hareley, 1968 dan Gianinazzi Pearson, (1981) dalam Muin mengatakan bahwa kebanyakan akar tanaman yang berasosiasi dengan cendawan yang membentuk mikoriza dan sebagai simbiosis diketahui meningkatkan hara fosfat tanaman. Dijelaskan oleh Sieverding (1991) bahwa cendawan mikoriza arbuskula (CMA) yang menginfeksi sistem perakaran tanaman inang akan memproduksi jalinan hifa secara intensif sehingga tanaman bermikoriza akan mampu meningkatkan kapasitasnya dalam menyerap unsur hara dan air. Bolan (1991) mengatakan bahwa fosfat adalah unsur hara utama yang mampu diserap oleh tanaman bermikoriza. Selain itu dapat juga menyerap NH (Hogber, 1989) dan juga unsur-unsur mikro seperti Cu, Zn, dan Mo (De la Cruz, 1991 dalam Setiadi).

2.8.2 Mikoriza sebagai Biokontrol Tanaman Terhadap Kekeringan
Garbaye dan Wartinger (1992) membuktikan bahwa asosiasi cendawan arbuskular-veskular mikoriza (VAM) dapat memodulasi (mengatur) ketahanan tanaman inangnya terhadap berbagai osmotik, elastisitas dinding sel yang berubah-ubah atau kandungan air yang sympastis. Selain telah pula dibuktikan bahwa VAM mampu memanen air di bawah titik layu permanen, dimana air sangat terbatas dan tidak tersedia bagi tanaman nonmikoriza. Kemampuan hifa memasuki pori-pori tanah yang paling kecil dimana akar sudah tidak bisa menembus dan menjangkau air tersebut menyebabkan tanaman bermikoriza selalu mendapatkan air meskipun dalam suasana kekeringan (Muin, 2001 dalam Widiarti, 2007)

2.8.3 Mikoriza sebagai Biokontrol Tanaman Terhadap Keracunan Logam Berat
Sejumlah penelitian VAM dapat meningkatkan serapan logam, seperti Zn dan Cu. Logam-logam yang diserap oleh VAM disimpan dalam hifanya dan tidak diteruskan ke akar, namun belum diketahui fungsi logam tersebut bagi cendawan. (Muin, 2001). Selain itu, pertumbuhan tanaman pada tanah-tanah yang tercemar logam berat dapat ditingkatkan resistensinya jika dikolonisasi oleh CMA (Gildon dan Tinker, 1986), sehingga penggunaannya dapat berfungsi sebagai bioproteksi.

2.8.4 Mikoriza sebagai Biokontrol Tanaman Terhadap Patogen
Imas et al (1993) menyatakan bahwa struktur mikoriza dapat berfungsi sebagai pelindung biologi bagi terjadinya patogen akar. Mekanisme perlindungan dapat diterangkan sebagai berikut :
1. Adanya selaput hifa (mantel) dapat berfungsi sebagai barier masuknya patogen
2. Mikoriza menggunakan hampir semua kelebihan karbohidrat dan eksudat lainnya, sehingga tercipta lingkungan yang tidak cocok untuk patogen
3. Cendawan mikoriza dapat mengeluarkan antibiotik yang dapat mematikan patogen
4. Akar tanaman yang sudah diinfeksi cendawan mikoriza, tidak dapat diinfeksi oleh cendawan patogen untuk menunjukkan adanya kompetisi (Subiska, 2002 dalam Widiarti, 2007)

Sedangkan menurut Anas dan Santosa (1993), peranan lain dari mikoriza dalam pertumbuhan tumbuhan adalah sebagai produsen hormon dan zat pengatur tumbuh. Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan informasi bahwa cendawan mikoriza dapat menghasilkan hormon seperti sitokinin, giberelin dan hasil metabolisme cendawan mikoriza yang berupa vitamin. Mikoriza pun mampu menggantikan kebutuhan pupuk, tidak menyebabkan pencemaran lingkungan sehingga aman bagi ekosistem, membantu tanaman untuk beradaptasi dengan pH rendah, merahabilitas atau mereklamasi daerah bekas tambang, serta melindungi tanaman terhadap toksisitas logam berat karena logam berat akan diserap oleh hifa cendawan.

2.8.5 Peranan Ektomikoriza
peningkatan unsur hara ketahanan terhadap kekeringan ketahanan serangan patogen tanah berpotensi untuk pembangunan hutan industry

2.8.6 Peranan Endomikoriza
meningkatkan pertumbuhan tanaman meningkatkan produktivitas mengurangi kebutuhan pemupukan fosfat memproduksi bunga lebih awal memperpanjang masa pembungaan, pada tanaman hias (Widiarti, 2007)

2.9 Pengamatan Mikoriza di Laboratorium

Pengamatan spora mikoriza
Sampel tanah yang akan diamati berasal dari lokasi yang disekitarnya terdapat sistem perakaran tanaman sampel. Diasumsikan bahwa apabila suatu sistem perakaran telah terinfeksi mikoriza, maka tanah disekitarnya akan mengandung spora dari mikoriza tersebut. Oleh karena itu, untuk dapat mengamati dan mengidentifikasi spora mikoriza dari sampel tanah, dilakukan metoda Penyaringan Basah menurut Schenk dan Perez (1990) dalam Widiarti (2007). Proses penyaringan dilakukan melalui beberapa tahapan.

1. Sampel tanah pada beberapa titik pengambilan yang berbeda dicampurkan sesuai letak plot/transek. Kemudian dari campuran tersebut diambil sebanyak 200 gram lalu dimasukkan ke dalam beaker glass.
2. Ditambahkan satu liter air kemudian diaduk selama beberapa waktu sampai merata, setalah itu diamkan campuran tersebut hingga air dan tanahnya terpisah.
3. Suspensi yang diperoleh dilewatkan pada tiga saringan yang berbeda, yaitu saringan ukuran 125 µm, 63 µm, dan 45 µm.
4. Partikel yang tertahan pada saringan 63 µm dan 45 µm dicuci dengan air bersih.
5. Partikel yang telah dicuci dimasukkan ke dalam tabung sentrifuse 50 rpm selama lima menit (untuk penyesuaian di lapangan, dapat diganti dengan melakukan pengendapan selama 24 jam).
6. Supernatan dibuang dan endapan ditambah larutan gula 30% sampai setengah bagian tabung sentrifuse, kemudian lakukan sentrifuse selama lima menit (untuk penyesuaian lapangan, pengocokan dilakukan dengan botol).
7. Supernatan disaring dengan saringan ukuran 45 µm lalu dicuci dengan air mengalir. Spora yang tertahan dimasukkan ke dalam cawan petri.
8. Amati di bawah mikroskop stereo binokuler kemudian dilihat bentuk, warna dan ukurannya.

Pengamatan akar yang terinfeksi mikoriza
Sampel yang akan diamati berasal dari akar sekunder dan tersier. Akar dari tumbuhan bawah ini diambil dan dipotong dengan panjang 1 cm. Kemudian akar tersebut disimpan dalam botol film. Analisis laboratorium meliputi tahap pembuatan preparat (pewarnaan) dan pengamatan di bawah mikroskop. Pembuatan preparat diawali dengan pencucian akar dengan air sampai bersih dari tanah. Setelah itu, dilakukan pewarnaan dengan metode Kormanik dan McGraw (1982).
Pada pewarnaan ini, pertama-tama potongan-potongan akar tersebut dimasukkan dalam botol film dan direndam dalam KOH 10%,akar dibersihkan dari KOH dengan bilasan akuades sebanyak 3 kali sampai warna coklat tidak tampak lagi. Setelah itu, akar direndam dalam HCl 1%. Kemudian HCl dibuang tanpa dibilas dan potongan-potongan akar tersebut ditetesi pewarna air fuchsin atau asam fuchsin asam laktat {875 ml asam laktat + 65 ml gliserin (0,2 gram fuchsin dan 62 ml air)} selama 10-60 menit. Setelah terwarnai, tahap terakhir adalah mengamati akar di bawah mikroskop.

2.10 Analisis Data Pengamatan Mikoriza
Pada setiap sampel yang berasal dari plot berbeda, spora yang dapat diamati dihitung jumlahnya dan diidentifikasi jenisnya berdasarkan Schenk dan Perez (1990) dalam Widiarti (2007).
Analisis data dilakukan dengan menghitung persentase keberadaan mikoriza pada setiap sampel akar yang terinfeksi menggunakan metode panjang slide(Setiadi,dkk.,1992).

Selain mengamati derajat infeksi, dilakukan juga pengamatan terhadap kehadiran beberapa struktur khusus dari mikoriza seperti kehadiran vesikula, arbuskula, dan ada tidaknya hifa eksternal.












DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2008. http://id.wikipedia.org/wiki/Mikoriza. Diakses 28 Maret 2008

Anonim. 2008. http://mbojo.wordpress.com/2007/03/16/mikoriza/. Diakses 28 Maret 2008

Anonim.2008.http://www.mycorrhizas.org/files/20070222_AMI2007.pdf. Diakses 28 Maret 2008

Anas, Iswandi. 1993. Pupuk Hayati (Biofertilizer). Bogor: Laboratorium Biologi Tanah, Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Munawir. 2008. Sebaran Infeksi Mikoriza pada Akar Macodes sp di Kawasan Panaruban Subang Jawa Barat. Laporan Kerja Praktek. Jatinangor: Jurusan Biologi, Universitas Padjadjaran.

Pujiyanto. 2001. Pemanfatan Jasad Mikro, Jamu Mikoriza dan Bakteri Dalam Sistem Pertanian Berkelanjutan Di Indonesia: Tinjauan Dari Perspektif Falsafah Sains. Makalah Falsafah Sains Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor
Rao, N.S Subba.1994. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

Santosa, Dwi Andreas. 1989. Teknik dan Metode Penelitian Mikorisa Vesikular-Arbuskular. Laboraturium Biologi Tanah Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor

Salisbury, F.B dan C.W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Jilid 1. Bandung: Penerbit ITB.
Setiadi, Yadi, dkk. 1992. Mikrobiologi Tanah Hutan. Petunjuk Laboratorium. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor.


Widiarti, Ira. 2007. Sebaran Spora Mikoriza pada Seedling di Hutan Pantai Barat Cagar Alam Pananjung Pangandaran. Laporan Kuliah Kerja Lapangan. Jatinangor: Jurusan Biologi, Universitas Padjadjaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan komentar ya.... ^-^